Esai untuk Launching buku Antologi puisi 10 KELOK DI MOUSELAND
oleh: Janoary M Wibowo
Jalanan di sini gelap dan penuh kelokan. Seperti hidup, bukan? Jika terpeleset di tikungan, pahamilah setiap luka adalah tanda kau pernah berkunjung ke Mouseland.
“You know, Michael. The worst thing in this world is to know too much. You’d better try to stay naïve. It’s much better.” kata Eli Wurman—diperankan oleh Al Pacino—dalam film People I Know. “Dunia ini relatif. Yang salah di tempat ini bisa jadi sahih di tempat lain.” perkataan Tristan kepada Bodhi dalam Supernova karya Dewi Lestari. “Let’s keep it undergound. Nobody out there would understand it anyway.” sebaris lirik dari lagu hip hop yang dinyanyikan oleh Grandmaster Flash—rapper asal Bronx. Saya lupa judul lagu itu.
Mengapa saya menuliskan judul lalu kutipan-kutipan yang mungkin—sampai pada kalimat ini—tak nampak berhubungan antara yang satu dengan yang lain? Sederhana, itu alasan politis. Ya. Politik. Usaha saya untuk didengarkan—dalam kesempatan ini dibaca oleh dunia yang telah terlalu terlena pada nama. Ada nama Al Pacino, ada nama Dewi Lestari, ada nama Grandmaster Flash—entah siapa dia saya juga tidak begitu mengenal. Begitulah proses politik. Memilih apa-atau-siapa yang didengarkan dan kemudian digunakan sebagai rujukan. Apakah tarikan logika saya tentang politik berbeda dengan pemahaman khalayak umum? Tak apa. Anggap saja itu politik diri saya. Pancasila-nya NKRJ, Negara Kesatuan Republik Janoary, yang gelap.
Politik itu keterlanjuran sejarah. Sejarah saya sendiri. Saya terlanjur menonton People I Know sebelum menulis ini. Saya terlanjur membuka-buka halaman Supernova sambil menikmati lagu hip-hop Grandmaster Flash sebelum menulis ini. Saya juga terlanjur membaca The Politics of Literature-nya Jaqcues Ranciere sebelum membaca Sepuluh Kelok di Mouseland. Lalu kemudian, saya mencoba menghubung-hubungkan keduanya—dengan kata lain putus asa menarik keduanya pada satu garis. Antara Politik dalam Sastra dan Sepuluh Kelok di Mouseland berhubungan, paling tidak itu yang saya tangkap.
Apabila yang saya tangkap tak jelas dan gelap bagi pembaca. Itu resiko bagi saya. Namun, beruntung saya—atau kasihan saya—bisa menggunakan nama Ranciere untuk berlindung. Merujuk pada Ranciere, politik pada umumnya adalah cara-cara manusia yang dipikirkan lalu digunakan untuk mewujudkan—atau tidak mewujudkan—suatu hal apapun untuk mendapatkan—atau tidak mendapatkan—apapun. Politik adalah cara-cara agar individu dapat didengarkan sebagai pernyataan, bukan hanya didengar sebagai keramaian. Sedangkan, politik dalam sastra—lebih tepatnya adalah politik dalam seni menulis—adalah cara-cara menyelaraskan cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku manusia dengan keadaan sekitarnya pada sebuah objek berupa tulisan. Politik dalam sastra selanjutnya akan saya tuliskan dengan politik diri penulis—murni kenekatan saya dalam membuat istilah tanpa merujuk pada satu namapun.
Politik diri dalam Sepuluh Kelok di Mouseland
Politik diri terasa kental Sepuluh Kelok di Mouseland. Ada Husni Hamisi, Arif F Kurniawan, Aras Sandi. Ada Dalasari Pera, Arganita Widyawati. Ada Arther Panther Olii. Ada Kang Arief, ada Mbak Lina Kelana. Ada Reski Kuantan, juga Noegi Arur. Ada sepuluh penyair. Ada sepuluh cara-cara menulis puisi. Ada sepuluh sejarah-sejarah yang menyusun mengapa penyair ini menulis puisi seperti itu, penyair itu menulis puisi seperti ini. Jauh sebelum buku ini terbit, saya berani beranggapan mereka telah berpolitik dengan memutuskan diri untuk menulis puisi. Memutuskan diri untuk membuat akun facebook. Memutuskan diri juga untuk memberikan atau menerima permintaan pertemanan di facebook. Juga, memutuskan untuk saling bertemu kata bertemu sapa—entah bertemu muka, lalu bersepakat untuk mengumpulkan puisi menjadi sebuah antologi. Bagaimana proses politis yang sebenarnya ada dalam diri masing-masing penyair.
Ya, keberagaman politik diri yang berkumpul dalam satu buku, satu wilayah. Mouseland. Entah dimana di peta letak wilayah itu, mungkin ada dalam tiap-tiap kepala masing-masing penyairnya—bahkan pada tiap-tiap kepala pembacanya. Ya, Mouseland adalah wilayah fiksi, dengan sepuluh politik diri menjadi kelokan-kelokannya. Puisi adalah fiksi—menuliskan apa yang pernah dituliskan Sartre, sebab fiksi adalah mengimitasi kehidupan. Bukan lagi merekonstruksi kejadian di depan mata, tetapi mereproduksi yang diketahui di hadapan kata. Aras Sandi dalam Negeri Bumi menuliskan,
sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri
Sekilas saya menangkap gambaran sebuah Negeri bernama Indonesia di sajak itu. Namun, Aras seperti memutuskan diri untuk mengimitasi apa yang terjadi pada Negeri Indonesia ke Negeri Bumi di wilayah Mouseland. Politik diri Aras berselaras dengan politik di sekitarnya, masyarakat Indonesia.
Arif F Kurniawan pun begitu. Pinokio yang dia ambil dari cerita yang sudah banyak orang ketahui, hidung Pinokio bertambah panjang setiap kali dia berbohong. Namun, Arif menciptakan Pinokio-nya sendiri.
ia ingin berhenti menanggung malu menerima ejekan,
kata orang-orang, tanduk hidungnya
selalu tumbuh lebih panjang dari kebohongan.
Lalu pada 2 bait berikutnya, Arif semakin kentara memperlihatkan bahwa Pinokio-nya berbeda.
ia tampak semakin bodoh,kini.
seorang diri di sesungging tepian,
menggergaji batang hidung sendiri
Arif dengan Pinokio-nya menampilkan jalinan antara politik diri dengan politik. Sebuah hubungan yang harus selalu ada, walau kali ini hubungan itu adalah pertentangan.
Berbeda dengan penyair Arther Panther Olii, di puisinya Senja di Tepi Sungai Bone. Dia menuliskan keterangan—semacam footnote untuk puisi—di bawah puisinya tersebut. Sungai Bone ada di Gorontalo. Dan Gorontalo ada di Indonesia. Indonesia itu bukan Mouseland. Jadi, sebuah senja di tepi Sungai Bone bukan fiksi. Nyata. Namun, melihat bagaimana Arther menuliskan bait terakhir dalam puisinya tersebut, nampak ada unsur imajineri—bolehlah serampangan dihubung-hubungkan dengan fiksi.
di tepi sungai bone, senja telah tenggelam
dan kenangan tentang kita : tersisa kelam
Bisa jadi saya—dengan politik diri dan sejarah saya sendiri—tidak akan merasa kelam ketika berada di tepi Sungai Bone ketika senja. Namun, saya bukan pemilik wilayah Mouseland. Arther-lah yang memiliki wilayah Mouseland.
Menuliskan tiga gejala dari tiga penyair memang tidak bisa sepenuh-penuhnya mewakili sepuluh. Namun, alasan politis saya bukan bahwa ketujuh yang lain tak menampilkan politik dirinya, melainkan lebih kepada alasan teknis. Terlalu panjang untuk ditulisbacakan semua—baik bagi saya dan pembaca tulisan saya yang gelap ini.
Bagaimanapun tulisan itu, kegelapan akan tetap menyertainya. Sebab, pada dasarnya, tulisan lahir untuk tulisan itu sendiri. Merujuk pada yang dikatakan Grandmaster Flash, keep it underground. Juga, sekali lagi pada Sartre, tulisan adalah objek yang terlahir tanpa makna apapun dan tidak mempunyai peran apapun. Penulis dan pembaca yang memasukkan makna dan perannya pada apapun—sesuai politik diri masing-masing penulis juga masing-masing pembaca.
Disneyland adalah wilayah Walt Disney berpolitik diri. Di sana dia menciptakan wahana-wahana. Di sana dia menciptakan nama-nama. Ada Donald Duck, ada Daisy Duck. Ada Pluto, ada Minnie Mouse, Ada Mickey Mouse. Mouseland adalah wilayah kesepuluh penyair berpolitik diri. Di sana mereka menuliskan puisi. Di sana mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Proses menulis dan menerbitkan antologi adalah tanda bahwa sebuah sejarah diri—dari kesepuluh penyair—sedang dibangun. Sedang, ya, sedang. Sebab, politik diri adalah proses. Proses menyelaraskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia dengan apa yang akan dilakukannya di dunia sekitarnya. Politik diri akan terus bergerak—berubah—seiring dengan berubahnya sejarah diri—apa-apa yang dialami. Mouseland adalah sejarah bagi kesepuluh penyairnya dalam kaitan penulisan. Mouseland adalah sejarah bagi kesekian banyak pembaca—juga calon pembacanya—dalam kaitan pembacaan. Sepuluh kelok di sana akan terus berkelok-kelok seiring kelokan kehidupan yang akan dialaminya nanti. Nikmatilah tiap kelokannya.
*) apresiasi impresif—yang mungkin terlalu berkelok-kelok—terhadap Sepuluh Kelok di Mouseland, sebuah buku antologi bersama sepuluh penyair nusantara.
oleh: Janoary M Wibowo
Jalanan di sini gelap dan penuh kelokan. Seperti hidup, bukan? Jika terpeleset di tikungan, pahamilah setiap luka adalah tanda kau pernah berkunjung ke Mouseland.
“You know, Michael. The worst thing in this world is to know too much. You’d better try to stay naïve. It’s much better.” kata Eli Wurman—diperankan oleh Al Pacino—dalam film People I Know. “Dunia ini relatif. Yang salah di tempat ini bisa jadi sahih di tempat lain.” perkataan Tristan kepada Bodhi dalam Supernova karya Dewi Lestari. “Let’s keep it undergound. Nobody out there would understand it anyway.” sebaris lirik dari lagu hip hop yang dinyanyikan oleh Grandmaster Flash—rapper asal Bronx. Saya lupa judul lagu itu.
Mengapa saya menuliskan judul lalu kutipan-kutipan yang mungkin—sampai pada kalimat ini—tak nampak berhubungan antara yang satu dengan yang lain? Sederhana, itu alasan politis. Ya. Politik. Usaha saya untuk didengarkan—dalam kesempatan ini dibaca oleh dunia yang telah terlalu terlena pada nama. Ada nama Al Pacino, ada nama Dewi Lestari, ada nama Grandmaster Flash—entah siapa dia saya juga tidak begitu mengenal. Begitulah proses politik. Memilih apa-atau-siapa yang didengarkan dan kemudian digunakan sebagai rujukan. Apakah tarikan logika saya tentang politik berbeda dengan pemahaman khalayak umum? Tak apa. Anggap saja itu politik diri saya. Pancasila-nya NKRJ, Negara Kesatuan Republik Janoary, yang gelap.
Politik itu keterlanjuran sejarah. Sejarah saya sendiri. Saya terlanjur menonton People I Know sebelum menulis ini. Saya terlanjur membuka-buka halaman Supernova sambil menikmati lagu hip-hop Grandmaster Flash sebelum menulis ini. Saya juga terlanjur membaca The Politics of Literature-nya Jaqcues Ranciere sebelum membaca Sepuluh Kelok di Mouseland. Lalu kemudian, saya mencoba menghubung-hubungkan keduanya—dengan kata lain putus asa menarik keduanya pada satu garis. Antara Politik dalam Sastra dan Sepuluh Kelok di Mouseland berhubungan, paling tidak itu yang saya tangkap.
Apabila yang saya tangkap tak jelas dan gelap bagi pembaca. Itu resiko bagi saya. Namun, beruntung saya—atau kasihan saya—bisa menggunakan nama Ranciere untuk berlindung. Merujuk pada Ranciere, politik pada umumnya adalah cara-cara manusia yang dipikirkan lalu digunakan untuk mewujudkan—atau tidak mewujudkan—suatu hal apapun untuk mendapatkan—atau tidak mendapatkan—apapun. Politik adalah cara-cara agar individu dapat didengarkan sebagai pernyataan, bukan hanya didengar sebagai keramaian. Sedangkan, politik dalam sastra—lebih tepatnya adalah politik dalam seni menulis—adalah cara-cara menyelaraskan cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku manusia dengan keadaan sekitarnya pada sebuah objek berupa tulisan. Politik dalam sastra selanjutnya akan saya tuliskan dengan politik diri penulis—murni kenekatan saya dalam membuat istilah tanpa merujuk pada satu namapun.
Politik diri dalam Sepuluh Kelok di Mouseland
Politik diri terasa kental Sepuluh Kelok di Mouseland. Ada Husni Hamisi, Arif F Kurniawan, Aras Sandi. Ada Dalasari Pera, Arganita Widyawati. Ada Arther Panther Olii. Ada Kang Arief, ada Mbak Lina Kelana. Ada Reski Kuantan, juga Noegi Arur. Ada sepuluh penyair. Ada sepuluh cara-cara menulis puisi. Ada sepuluh sejarah-sejarah yang menyusun mengapa penyair ini menulis puisi seperti itu, penyair itu menulis puisi seperti ini. Jauh sebelum buku ini terbit, saya berani beranggapan mereka telah berpolitik dengan memutuskan diri untuk menulis puisi. Memutuskan diri untuk membuat akun facebook. Memutuskan diri juga untuk memberikan atau menerima permintaan pertemanan di facebook. Juga, memutuskan untuk saling bertemu kata bertemu sapa—entah bertemu muka, lalu bersepakat untuk mengumpulkan puisi menjadi sebuah antologi. Bagaimana proses politis yang sebenarnya ada dalam diri masing-masing penyair.
Ya, keberagaman politik diri yang berkumpul dalam satu buku, satu wilayah. Mouseland. Entah dimana di peta letak wilayah itu, mungkin ada dalam tiap-tiap kepala masing-masing penyairnya—bahkan pada tiap-tiap kepala pembacanya. Ya, Mouseland adalah wilayah fiksi, dengan sepuluh politik diri menjadi kelokan-kelokannya. Puisi adalah fiksi—menuliskan apa yang pernah dituliskan Sartre, sebab fiksi adalah mengimitasi kehidupan. Bukan lagi merekonstruksi kejadian di depan mata, tetapi mereproduksi yang diketahui di hadapan kata. Aras Sandi dalam Negeri Bumi menuliskan,
sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri
Sekilas saya menangkap gambaran sebuah Negeri bernama Indonesia di sajak itu. Namun, Aras seperti memutuskan diri untuk mengimitasi apa yang terjadi pada Negeri Indonesia ke Negeri Bumi di wilayah Mouseland. Politik diri Aras berselaras dengan politik di sekitarnya, masyarakat Indonesia.
Arif F Kurniawan pun begitu. Pinokio yang dia ambil dari cerita yang sudah banyak orang ketahui, hidung Pinokio bertambah panjang setiap kali dia berbohong. Namun, Arif menciptakan Pinokio-nya sendiri.
ia ingin berhenti menanggung malu menerima ejekan,
kata orang-orang, tanduk hidungnya
selalu tumbuh lebih panjang dari kebohongan.
Lalu pada 2 bait berikutnya, Arif semakin kentara memperlihatkan bahwa Pinokio-nya berbeda.
ia tampak semakin bodoh,kini.
seorang diri di sesungging tepian,
menggergaji batang hidung sendiri
Arif dengan Pinokio-nya menampilkan jalinan antara politik diri dengan politik. Sebuah hubungan yang harus selalu ada, walau kali ini hubungan itu adalah pertentangan.
Berbeda dengan penyair Arther Panther Olii, di puisinya Senja di Tepi Sungai Bone. Dia menuliskan keterangan—semacam footnote untuk puisi—di bawah puisinya tersebut. Sungai Bone ada di Gorontalo. Dan Gorontalo ada di Indonesia. Indonesia itu bukan Mouseland. Jadi, sebuah senja di tepi Sungai Bone bukan fiksi. Nyata. Namun, melihat bagaimana Arther menuliskan bait terakhir dalam puisinya tersebut, nampak ada unsur imajineri—bolehlah serampangan dihubung-hubungkan dengan fiksi.
di tepi sungai bone, senja telah tenggelam
dan kenangan tentang kita : tersisa kelam
Bisa jadi saya—dengan politik diri dan sejarah saya sendiri—tidak akan merasa kelam ketika berada di tepi Sungai Bone ketika senja. Namun, saya bukan pemilik wilayah Mouseland. Arther-lah yang memiliki wilayah Mouseland.
Menuliskan tiga gejala dari tiga penyair memang tidak bisa sepenuh-penuhnya mewakili sepuluh. Namun, alasan politis saya bukan bahwa ketujuh yang lain tak menampilkan politik dirinya, melainkan lebih kepada alasan teknis. Terlalu panjang untuk ditulisbacakan semua—baik bagi saya dan pembaca tulisan saya yang gelap ini.
Bagaimanapun tulisan itu, kegelapan akan tetap menyertainya. Sebab, pada dasarnya, tulisan lahir untuk tulisan itu sendiri. Merujuk pada yang dikatakan Grandmaster Flash, keep it underground. Juga, sekali lagi pada Sartre, tulisan adalah objek yang terlahir tanpa makna apapun dan tidak mempunyai peran apapun. Penulis dan pembaca yang memasukkan makna dan perannya pada apapun—sesuai politik diri masing-masing penulis juga masing-masing pembaca.
Disneyland adalah wilayah Walt Disney berpolitik diri. Di sana dia menciptakan wahana-wahana. Di sana dia menciptakan nama-nama. Ada Donald Duck, ada Daisy Duck. Ada Pluto, ada Minnie Mouse, Ada Mickey Mouse. Mouseland adalah wilayah kesepuluh penyair berpolitik diri. Di sana mereka menuliskan puisi. Di sana mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Proses menulis dan menerbitkan antologi adalah tanda bahwa sebuah sejarah diri—dari kesepuluh penyair—sedang dibangun. Sedang, ya, sedang. Sebab, politik diri adalah proses. Proses menyelaraskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia dengan apa yang akan dilakukannya di dunia sekitarnya. Politik diri akan terus bergerak—berubah—seiring dengan berubahnya sejarah diri—apa-apa yang dialami. Mouseland adalah sejarah bagi kesepuluh penyairnya dalam kaitan penulisan. Mouseland adalah sejarah bagi kesekian banyak pembaca—juga calon pembacanya—dalam kaitan pembacaan. Sepuluh kelok di sana akan terus berkelok-kelok seiring kelokan kehidupan yang akan dialaminya nanti. Nikmatilah tiap kelokannya.
*) apresiasi impresif—yang mungkin terlalu berkelok-kelok—terhadap Sepuluh Kelok di Mouseland, sebuah buku antologi bersama sepuluh penyair nusantara.
2 komentar:
maaf yach janjiku pada sepuluh kelok di Moesland masih belum kurampungkan....
pembahasannya menarik
JANJI APA YAHHH???
Posting Komentar