SEPULUH PUISI NOMINASI LOMBA MENULIS PUISI BERTEMA CINTA DAN KASIH IBU— HANNA FRANSISCA 2011



SEPULUH PUISI NOMINASI LOMBA MENULIS PUISI BERTEMA
CINTA DAN KASIH IBU—
HANNA FRANSISCA
2011



Sahabat FB terkasih, inilah hasil pengumuman 10 nomine (dengan penempatan urutan secara acak), yang telah diputuskan oleh kedua juri yakni Acep Zamzam Noor dan Joni Ariadinata. 10 nomine ini, dipilih dari 1428 email yang masuk, dengan jumlah puisi yang dinilai sebanyak 4021 judul puisi. Sungguh sebuah jumlah yang cukup besar. Dari 10 nomine ini, akan akan ditentukan mana yang berhak menjadi pemenang 1, 2, dan 3, pada tanggal 30 Mei 2011. Penentuan pemenang adalah merupakan kewenangan juri, sementara untuk penentuan juara favorit, saya serahkan kepada para sahabat FB terkasih.

Untuk ikut berpartisipasi memilih pemenang favorit, saya persilahkan seluruh sahabat menuliskan pilihannya di dinding ini, disertai komentar singkat (cukup empat atau lima kalimat) mengenai alasan kenapa memilih puisi tersebut.  Keikutsertaan para sahabat terkasih dalam menentukan pemenang favorit, merupakan satu kehormatan tersendiri bagi saya. Komentar dan pemilihan terbuka hingga tanggal 29 Mei 2011, pukul 00.00 wib. Sekali lagi, menang dan kalah bukanlah sebuah tujuan utama, sebab keikutsertaan para sahabat jauh lebih berharga dari hanya sekedar istilah kalah atau menang.



Salam kasih dan terimakasih:

HF















1. Inung Imtihani

Rinduku Tumpah di Rahimmu
1
Pelan-pelan aku mengerti mengapa bening hujan tak bisa menyamai air matamu. banyak hal yang dilalukan angin, kecuali rindu. bersama riuh lampu-lampu aku mengenang harum balsem bertahun lalu. kayu kering di tepi hutan dapat kuhitung hingga peluh menguap. tapi cinta dari rahimmu, bukan kayu.

2
Kerikil yang memecah telapak kakimu membuatku paham mengapa kau tiga kali bagi nabi. telah terbaca puisi keramat. darahmu menyuburkan pohon-pohon tempatku hinggap. akan bagaimanakah kukembalikan nadi yang terlanjur lekat dalam daging? jika bahkan engkau rebahkan nyawamu di jantungku.

3
Tubuhmu hampir rubuh tertiup angin. kau menanti di teras rumah sambil melempar butir beras untuk anak-anak ayam. bunga kenanga telah kembang. wangi lepas ke udara.

 rinduku tumpah di tanah basah, Ibu.














2. Toni Lesmana

 Kerinduan Arus
: kepada ibunda

 memburu debur laut, semakin jauh aku darimu. berulangkali aku menderas
dan tersesat. sungai  menyimpan perangkap sekaligus gairah memabukkan
goa-goa kegelapan menelan seluruh petuahmu lalu aku meluap lupa segala
semakin jauh aku darimu. langkah-langkah mungilku menjelma banjir sunyi
menghanyutkan kampung dan kota. dunia kuarungi dengan gelegak gelisah
menciptakan pusaran-pusaran durhaka lantas meminang lara di muara

duhai, mataair, sesungguhnya ada yang kekal di tubuh jarak, cintamu
ricik yang tak kikis oleh nyeri. siang dan malam adalah sepasang susumu
alir doa yang menembus kabut kemurungan.  aku pun menulis rindu
sambil mengerang di jeram, meluncur di air terjun, meringkuk di lubuk
sambil meneguk lumpur dan menghisap limbah. kata-kata kutitipkan
pada pasir dan kerikil, batu dan ikan, daun hanyut dan kayuh perahu,
tiang jembatan dan burung yang kehausan. perjalanan menjelma sajak
yang tak pernah sampai padamu, terus menjauh memunggungimu
memburu gemuruh  laut, semakin hampa aku mengingatmu

namun di laut, garamlah yang menyambut luka-lukaku, aku meronta
diseret ombak pasang yang melahap pantai lantas digusur bersujud
di dasar samudera. aku seperti menemukan jalan pulang bagi rindu
sebab seluruh sajak tak  pernah sanggup mengungkapkan cinta padamu
maka kupasrahkan diriku pada panas matahari, gumpalan awan,

dan tiupan angin. hanya sebagai hujan aku bisa kembali padamu
sebagai airmata yang tak akan reda, o, mataair kasih abadi
tak akan pernah reda aku di pangkuanmu

2011


3. Eko Putra

 SILSILAH ; KESANGGUPAN
 ; untuk seorang masterpiece, Ibuku
….aku sanggup menerima kepergian perempuan manapun
tapi tidak untuk kehilangan dirimu….

jika apa yang kau tanyakan padaku tentang kesetiaan. atau tentang rumah yang paling nyaman untukku membagi jarak, menyusun silsilah kepergian. juga tentang orang-orang  yang begitu sering datang, kemudian dengan sendirinya raib. dan memaksa aku untuk membunuh diri sendiri dengan cara mengubur seluruh ingatan yang disempurnakan oleh petualangan. maka kaulah orangnya, yang entah kapan aku dapat memahami kehilangan demi kehilangan tersebab mereka yang gagal meyakinkan aku untuk menyerupai dirimu walau sekadar cara tersenyum atau cara menangis sekalipun, sebagai niat  menaklukkan hidupku.

aku juga tak pernah mengetahui, bagaimana cara kau melengkapi kehadiranku. seperti juga aku telah lama tak mampu memahami rahasia gelap rahim, hitungan bulan, darah, dan tangisan pertama yang menggetarkan bumi. yang aku pahami cuma keniscayaan yang barangkali tak mampu memberiku petunjuk lebih banyak, jalan mana yang akan kupilih, di setiap kecemasan yang bengis, yang tega membuat aku untuk sejenak melupakan dirimu. lalu dengan lalai pula, aku berusaha menyamakan mereka sebagai dirimu yang lain di puncak kemanusiaanku sebagai hasrat.

 barangkali, takdir dapat kubendung dengan kalimat puisi atau dengan sebuah cerita tanpa narasi, yang di antaranya sejarah menerjemahkan sebagai pengkhianatan dan kenistaan yang tak boleh diulang kembali. tapi aku bukan Sangkuriang dan kau tentu saja bukan Dayang Sumbi.

 kelak, jika kau ingin mengetahui rahasia paling sederhana dari hidupku, bagaimana aku ingin mengatakan banyak hal padamu. maka tanyakanlah pada seseorang yang mau menerimaku melahirkan cucu untukmu….

(Kampung Keramat, 2011)



4. Kebun Salju



PEREMPUAN DI TEPI FAJAR
YANG MEKAR YANG GEMETAR

                                                                              : untuk @namasayaindi

Sampai juga kita, lakiku, di tepi fajar, yang mekar, yang gemetar. Takdir, memang, tak lain bandul jam, yang mengayun: dari pedih ke pedih.

Kita meraba: hurufhuruf tak terbaca. Mendugaduga cuaca. Barangkali, di bawah langit yang memejam, kita akan segera karam.

Aku inginkan pelukan, cintaku, agar Maut, yang selalu kaubayangkan seharum semangkuk sup, tak terlalu membuat kita gugup.

Maka, peluklah, lakiku. Peluklah. Benamkan kecemasanku, ke dalam gairahmu. Biarkan aku mati dengan cantik, dalam birahi.

Lihatlah. Ada bintang padam, jauh di jantung malam. Lalu..
Mati, katamu, hanyalah cemas yang sementara. Selebihnya, tak ada. Tak ada.

Maka, lakiku, sentuhkan saja tanganmu yang gemetar pada fajar yang memar. Di sana, kau akan selalu menemukanku, yang berdenyut, serupa jantungmu.

Kemarilah, sebelum cahaya merenggutmu, kau akan tahu aku selalu menjadi ibu bagi seluruh dukamu.

Dan, ketika fajar benarbenar mekar suatu hari, mungkin akan ada yang bernyanyi -- ataukah itu jerit nafiri?

Tapi aku tak lagi merasa sunyi.

 2011

5. Faridz Yusuf

 MENCARI MAKAM BUNDA

/1/
lalu kau tuntun aku ke surga, sore itu. rumputan tegun
dan hanjuang sungsang mencerna merah gamismu.
langkahmu penuh, genggammu teguh: seolah mengajariku
agar kukuh pada tempuh. “demikian hidup,” katamu suatu kali,
“adalah ketabahan memenuhi janji.”

sementara jalanan dikukus kering: kampung tak lebih dari
jejer jemuran. orangorang serupa menolak halaman,
mungkin tak akrab lagi dengan penantian. gerimis telah
disangkal musim, namun matamu tetap bening.
maka aku terus merapat ke sampingmu:
langgar tinggal seinci, condong menuju sepi.

kau lantas mengalunkan barzanji. sementara aku iri:
mengapa anakmu tak pernah disebut namanya?
aku lalu meneguhkan hati, barangkali itulah caramu
memanggilku. “Tuhan tak bobo, nak,” katamu.
namun rupanya jemaatmu terlambat. mungkin benar,
iman itu serupa iuran, tergantung angka berapa
almanak menunjuknya.

sore menyorong senja ke sirna, pertanda jemaat
tak bakal mendekat. tapi kau sabar seperti megamega:
menekuni mushaf dari alif hingga ya. jendela harus
segera dirapat, pertanda jemaat urung menemu wasiat.
tapi kau tabah laiknya ayat: melipatlipat munajat
sampai ke sunyat. dalam kesendirianmu, kulihat takdirmu.



/2/
mungkin kau lupa, surga itu harus megah,
bukan langgar dengan gorden lusuh,
bedug ompong atau bilik bolong,
bukan reuni keluarga atau kolorkolor di jendela.
barangkali kau lupa bahwa selalu ada yang tak tetap
dalam fana, sebab yang kau tahu bahwa kesederhanaan
adalah iman tanpa bandingan.

mungkin kau khilaf, surga itu harus menggugah,
dengan kotak jariyah besar atau keramik mengkilat,
dengan jendelajendela berkacapatri kaligrafi,
dengan lampu mewah dan jadwal terperinci.
barangkali kau lupa bahwa surga juga tergantung
dana kampanye siapa, sebab yang kau tahu bahwa
janji dunia tak sepenuhnya bisa dipercaya.


 /3/
magrib hangus ke isya, pengajian tak juga terlaksana.
tumpeng basi, telur dan kentang pasi: damar mengubur
bayangannya sendiri. kau lalu menutup kitab dan merapatkan
kening ke bumi.mungkin menginsyafi bahwa memang
hanya Tuhan saja yang selalu terjaga. jam delapan kurang sepuluh,
kauhabiskan tafakurmu. di langgar reyot itu, aku lalu bersaksi
bahwa tiada surga selain sukmamu. kau lalu menutup doa
dan langgar segera diheningkan.

tapi yang datang malah orangorang bermuka tegang.
aku dilempar ke balik pintu, kutatap, lehermu dicicip gergaji.
“dukun santet! dukun santet!” kudengar bisik keji itu:
kau jadi kedap, aku jadi pengap. perlahan langkahlangkah aus,
aku merayap di atas samak. ada basah berenang ke dada,
kugapai, kau sudah tanpa kepala.


 /4/
empat belas tahun berlalu, aku tak pernah paham
mengapa jemaat tiba-tiba sirna. belasan tahun itu,
aku tak pernah tahu siapakah mereka yang datang
dengan kekejian. sungguh, tahuntahun tanpa isi:
aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu
ke dalam ketiadaan.


/5/
kubakar kemenyan tiap malam selasa: membangkitkan
rinduku pada tujuhratus cara senyummu yang liku.
kusampirkan selendang itu ke pundakku,
kukhatamkan tadarusmu tentang bulan,
tentang wajah ayah yang lebih dulu undur tanpa usia.
langgar telah lama rubuh, tak ada lagi saksi selain
aku dan ingatan. aku terus berlari: menautkan tiap semoga
pada mungkin.

ah, sepertinya bunda lupa bahwa nyeri juga punya batas.
aku lalu menyerbu jalan dengan pedang bertali selendang:
beringas mencari riwayat kepalamu yang hilang.
lebaran seminggu lagi tiba, oh untuk kesekiankalinya,
aku harus ziarah ke sukma yang mana?
sungguh, aku terguncang.

 Bandung, 10/05/2011


Catatan:

Hanjuang (Sunda), Andong (Jawa), Endong (Bali), Penjuang (Dayak) | Kingdom: Plantae (Tumbuhan) | Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) | Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) | Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) | Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil) | Sub Kelas: Liliidae | Ordo: Liliales | Famili: Agavaceae | Genus: Cordyline | Spesies: Cordyline fruticosa (L.) A.Chev. Dari: http://www.plantamor.com/



6. Arif Fitra Kurniawan

BEBERAPA ALASAN SERTA ULASAN MENGAPA
AKU BETAH BERMUKIM  DI DADAMU,  IBU

:teruntuk  ibundaku Wiwik Wahyuni

 -  Tiap kali petang datang dan menyelinapi
kisi-kisi dadamu, sengaja bergegas kau menyalakan
saklar lampu-lampu ingatanku.

lampu yang warna cahayanya tabah untuk terus terjaga
demi rabun mataku agar tetap betah bermukim di dadamu
demi membaca masa lalu  yang  mudah sekali
terhapus dari papan tulis di jantungku,

kau mengajariku bagaimana mencatat  tanggal yang padat
sebab kau lebih tahu begitu cepatnya alamat detik berpindah tempat


- Ibu, kenapa tiap perempuan mesti belajar
mencintai daun katuk ketika di dadanya
mulai berbuah sepasang apel merah ?

“sebab santannya mampu menyabarkan air susu
dan hijau santunnya menyuburkan  airmatamu,
:belajarlah selalu iba  sebelum menjadi ibu nak !”

semenjak itu aku tahu bahwasanya anak-anak waktu
dari kesedihan tak pernah berhenti melepas  haus hasratnya
berebut menjadi pemburu, menyusu airmatamu airmataku






- Seseorang  mematahkan lengan hatiku sore tadi
sebelum matahari sempat sembunyi  ke dalam
sempit haru mataku, yang tiba-tiba saja menjadi rentan
tak tahan digerhanakan bayang  kehilangan.
engkau berujar sambil mulai menyambung,
hati-hati menyeimbangkan  kembali patah  hatiku
dengan  obat merah dan segulung perban,

: tegaklah, sebab cinta kadang tak mematuhi  tanda sama dengan
dari semua perkiraan yang kita  rumuskan.

senyum airmatamulah yang  menguras kering di cekung pipiku.
aku sungguh terselimuti genang yang hangat, merasa terluapi
pesta ulang tahun yang riuh oleh  kartu ucapan selamat
dari kawan-kawan terdekat.


- Aku selalu ingin menjadi masa kecil paling mungil,
seperti kutu atau bahkan  kuman
—yang cuma bisa ditangkap oleh mata mikroskop
betitik api paling panjang—

ketika engkau mengecupkan bibirmu
yang buku itu  kepada dongeng mataku sebelah kanan.

dalam tidur tak  henti aku  membelah diri  ribuan kali,
menjadi tokoh-tokoh  yang hidup  di sepanjang
kisah ajaib  yang pernah engkau tumpahkan
dari dada ke liang telingaku yang manja

sebab di sana, hidupku yang maha kecil ini
selalu merasa paling menang dari semua perlintasan
yang dicipta oleh keberangkatan—kepulangan




7. John Ferry Sihotang

Sepatu Titipan Bunda

1.       
sebelum genap usiaku
kau oleskan gaharu pahit di puting susumu
lalu kau tolakkan aku di tengah pusaran topan
berjalan sendiri
menjadi perantau

"inilah sepatu yang mesti kau pakai!
tegaklah berdiri seperti yatim piatu
menenun bulang cahaya
ke dalam putik-putik padi"

masih saja aku tak paham untuk apa sepatu itu
kau jahitkan dari bilik rahim doamu

namun kau adalah kebenaran masa kecilku
maka kuselami danau jiwamu yang menyimpan
mimpi-mimpi keabadian
sejak kau selipkan tabik daun
pada tangisku yang pertama


2.
kau adalah sepatu paling tabah
tak pernah mengeluh pada penghujan atau kemarau
pada tanah merah dan kerut kematian

padahal mulutku tak henti-henti meragu
saat berdiam dalam keharuan tanpa alasan
atas matahari, angin, tanaman atau bara api
yang tak mungkin kehilangan pesonanya

kucari jawaban hingga ke bintik-bintik kaki lalat
yang kutemukan hanya aneka tanda tanya
atas rahasia yang tak pernah tersingkap seutuhnya

tapi kau adalah sepatu paling tabah
bahkan tak sempat bertanya akan dibawa atau dibuang
sedang pergi atau pulang
entah ke mana


3.
sepatu adalah alas kehidupan
itu sebabnya kami goyah tanpa kehadirannya

sepatu adalah alas kehidupan
itu sebabnya kami selalu disepak badai


4.
"hei, tuan bertubuh besar
aku makin tak mengenalmu

kunang-kunang sudah beranak-pinak
sementara kau masih gentar pada similir
sebab terlalu berat manafsir"
kecam sepatu suatu kali,
menghimpit tubuh jadi kabut
lindap di remang




5.
ai, bunda…
apa lagi yang perlu kutahu dari semua ini

sepatu yang kau titipkan bikin telapak biru lebam
menyusuri mimpi-mimpimu
dingin ke bukit jauh memantul sunyi
mengurai putih helai rambutku

kadang ingin kugantikan dia dengan sepatu-sepatu baru
yang lebih keren dan mentereng
namun aku tak yakin mereka sanggup mencintai
jejak langkahku

sebab dia -- ataukah kau -- selalu menepati janji
menuntun ke nadi-nadi tualang
dan tak membedakan
mana tikungan dan mana mimpi setengah tanggal

sepatu sudah menjelma bayanganku sendiri
sebagai sahabat paling setia meski
dia selalu diam
mengajak tengkar tentang siapa di depan
mendahului titah-titah yang tertatih
di akar rumput-rumput mati



6.
tadi malam, saat gilang-gemilang di luar luar langit
aku bacakan sebuah sajak yang tak rampung
di tanah pengasingan
di hadapan para perantau yang memakai sepatu juga

apa karena sudah koyak dan kotor
tak satu pun suka sepatuku
dan aku belum paham benar, bunda
mengapa yang lain mesti membeda-bedakan yang sama

bulan masih cerlang di luar langit
air mata tertegun di epitaf resah membilur

mereka mengirik daging dan terunaku
lalu mengisap habis seluruhku
hanya sepatu mengucap duka selamat pisah

tapi sepatu yang kau titipkan pun
mereka campakkan ke dalam tong sampah
kemudian dibakar dengan sempurna

jadi abu
sepenuhnya



7.
sepatu adalah jejak bunda kehidupan
itu sebabnya aku pulang ke rahimMu sebagai abu.













8. Dalasari Pera

BEBERAPA BENDA YANG IBU SIAPKAN SEBELUM AKU BEPERGIAN

 1/ KANTONGAN PLASTIK

Seperti biasa, aku mabuk kendaraan.
Segala yang tertelan
kelak kumuntahkan di tengah jalan
maka ibu membekali kantongan plastik

“Muntahkan kenangan buruk
dan hidup terpuruk
di kantongan ini.
Lalu ikat rapi dan buanglah
ke luar jendela kendaraan.”


2/ BAJU BERSAKU BANYAK

Ibu memahami perjalanan
selalu menjadi lebih panjang
dari yang kita kira
Sebab titik sesungguhnya tak pernah jelas
hitungannya

“Pakailah baju bersaku banyak
dimana aku telah isikan
bekal menuju kekal
agar kau tak memintal sesal.”





3/ BOTOL MINUMAN KOSONG

 Ibu sesungguhnya petualang sejati
Leliku jalan adalah sekumpulan kisah
Yang lama menubuh pada sosoknya
Maka jalan manakah yang tak ia kenali?

“Jalan berliku akan banyak kau temui
kaki-kaki harus tegak menapak
meski pundak sesak oleh beban
Sesekali kau harus menadah keringat
dan juga air mata, ke botol kosong ini.
Lalu minumlah di lain waktu
saat kehausan harus mengajarkanmu
betapa asinnya kehidupan.”



















9. Ather Panther Olii

Inilah Beberapa Catatan Riwayat Hidup Ibu yang Bisa Kutuliskan Selepas Kepergianmu, Ayah!
1/
Di malam pertama kau tak lagi memanggil nama Ibu
Beribu kata-kata terperangkap di kebekuan bibirnya
Lalu deretan tanyaku tentang pilukah ia
Menemu jawab lewat setetes air mata yang jatuh
Yang seketika menjelma kerinduan tak usai
Dan esok adalah kesepian yang rapih
Membalut detik ke menit
Menit ke jam hingga ke batas hari
Dengan warna kelabu tak pudar
Pendarnya serupa kabut malam
Suram dan hilangkan bayang


2/
Malam ketiga dan doa-doa masih singgah di awan-awan
Tuk bermukim bersama luapan air laut
Menjelma bebulir hujan yang jatuh meruah
Membasahi kembali tanah merahmu
Melembabkan dekapan Ibu pada bingkai foto tuamu
Ibu mencipta samudra tanpa riak gelombang
Sesengukkannya merampas kesempatan rembulan
Hadir mengucap salam damai dari langit malam
Jika tengadah wajah dan tangan masih kau lihat
Sesungguhnya itu adalah wujud nelangsa
Yang oleh malam dibiaskan sebagai hal biasa
Tak seperti wajah ibu yang terus pias oleh
Kehilangan tanpa sekata dua kata perpisahan


3/
Sepekan hadir dan cahaya kehidupan masih dimonopoli malam
Kelam sungguh tak punya malu, tak mau beranjak
Bahkan oleh daftar panjang doa-doa
Sekiranya harapan terus disepoikan angin
Ibu tak lantas bergeming
Hening adalah kawan sejatinya
Dia punya bahasa baru
Yang membahana di antara sulur-sulur janji hati
Tiada tersakiti namun terlewati jalan derita
Lara masa akan memelihara jiwanya
Tanpa limit yang bisa ditandai
Bahkan oleh tinta ingatan paling murni


4/
Empat puluh hari tiba dan kesantunan cahaya merapat
Begitu dekat di guratan paras Ibu
Semacam suratan nasib baru kubaca
Ibu memuncaki letih laranya
Ibu luruhkan galau dan gamang
Melepasnya jauh, di sela-sela arah yang asing
Lalu rentangan tangannya begitu lebar
Dia siap menampung hamburan tubuhku
Dia kokoh menopang gigil pedihku
Yang menyusul tak tertahankan
Usai kulihat sebenar-benarnya ada
Mentari bermukim di kedalaman mata Ibu
Aku merindu dekapan hangat Ibu
Sungguh merindu


5/
Setahun berlalu dan musim-musim masih tak berubah nama
Andai harus bersua basah dan lembab yang tebal
Sungguh Ibu telah kebal
Kesibukannya berkabar pada langit tentang rumah cahaya
Menjadikannya lupa bahwa di silam yang belum jauh
Dia pernah melaknat sebuah kepergian
Yang meninggalkan rentetan kalimat penyesalan
Menjadi puisi melankolia menghanyutkan
Ibu memang pernah larut dalam lara
Tapi bening hatinya menautkan kembali mozaik ingatan
Akan takdir kehidupan yang tak boleh putus
Hanya karena sebuah kematian datang melawat


6/
Lantas setelah sembilan tahun kepergianmu, Ayah!
Ibu telah mampu menemukan nama barunya
Tertulis dengan huruf-huruf kasih
Berbalut sayang yang fasih dilantunkan oleh cerah wajahnya
Yang bersih dieja oleh ranum bibirnya
Sesungguhnya Ayah, bingkai fotomu telah menjadi rumah
Rumah kenangan abadi tak terganti
Bagi setiap tatap mata Ibu yang berlabuh
Di dinding kamarnya yang mungil
Kau, selama sembilan tahun yang sunyi
Menatapnya dengan cinta yang wangi
Sewangi melati dari tubuh Ibu
Yang kuhirup setiap diberinya aku
Dekapan hangat di pagi hari

 Manado,  Mei 2011.










10. Agus Kurniawan


MEMOAR SELENDANG


 (1)
aku mendaki selendang ibu mencari masa kanak yang hilang
ranum ingatan yang akan lekang
saat mengeja air susu menelusuri letih ibu
kantuk yang terjaga, kasih  yang menyala
pada lintasan riwayat selendang

ibu pun mengajariku bernyanyi bersama dalam penantian
bulan sembilan lalu cinta jadi  berderaian di semesta ayah
selendang yang membentang jalan menuju jalan kecil
meniti masa remaja kan kukenang
lalu menghampar di hati perempuan

o perempuan yang menari di hamparan arloji
aku menerbangkan ilusi paling binal, kubentang kembali selendang
ditepinya jam-jam kan terkenang air mata tersimpan
dalam peta kasih tak terjabar

o selendang berkibaran mengenang ibu
kupanjat kembali masa kanak-kanak yang terbang
berserpihan dalam laut kenang







(2)
kemudian remaja mengaburkanku pada dermaga bagi
perempuan, menenun bersamaku menjahit
selendang waktu
anak-anak zaman akan lahir kan kuajari silsilah
dahulu perjalananku tersimpan dalam selendang ibu
tak kan robek di lemari yang pintunya selalu terbuka

 aku pun menjadi pengembara setelah dunia
mencaciku sebagai pengecut dan menuntutku pergi
jauh dari jangkauan selendang, tapi akan tetap berkibar
dalam semesta sunyiku
: ajal terjauh......

15 Mei 2011              

1 komentar:

Langit Amaravati mengatakan...

beuh, kagak ada traktiran ah. gak seru... yaaa...minimal kirimin satu buku puisi lu itu ke bandung *tring