Jadi ceritanya, pekan lalu aku menjajal membuat ayam kukus jahe. Ya, tak ada salahnya sih, kalau seorang tukang masak menjajal menu diet keto. Sudah aku tulis sih dalam catatan resepku di situs bapakmemasak.com. Sebetulnya sudah rasan-rasan pengen bikin masakan yang jauh dari area goreng-menggoreng dari kemarin-kemarin. Cuma memang kadang waktu punya caranya sendiri agar keinginan manusia dan kenyataan di lapangan bisa berjodoh. Di mana-mana rumus jodoh kayaknya begitu-begitu sih ya. Klise-lah! Akhir-akhir ini, atau lebih tepatnya tiga tahun belakangan, keluhan-keluhan yang dimiliki manusia sepuh datang satu demi satu ke haribaan. Kadang pas tidur gitu, suka bangun lantaran kaget karena betis berasa kenceng serasa diikat tali kuda. Ternyata itu kram. Lain waktu punggung macam ditempeli pelat baja bahan cor-coran dan kalau buat gerak minta ampun sakitnya. Sebulanan ini malah asli parah deh. Pipis jadi kesendat-sendat kayak klepnya seret atau gimana, pokoknya kenikmatan buang air kecil jauh panggang dari api. Bisa pipis dengan deras sekarang kok jadi barang mewah. Cukup kawanku, kamu-kamu sekalian tak usah menambahi penderitaanku dengan sok-sok an memberi wejangan bahwa ini semua adalah cara Tuhan agar aku mengevaluasi diri.
Dulu pas masih sering bertemu dengan Kabut di acara-acara terkait tulis-menulis, aku seringya meledek dia yang sebentar-sebentar selalu merogohi kantung celana untuk menyeset Tolak Angin. Babi betul kelakuan macam ini, pikirku kala itu. Lembek. Kabut masih gondrong dan digelung dan wajahnya pucat seperti penderita tipus. Ia tak bisa jauh-jauh dari saset jamu yang katanya diproduksi untuk kaum cerdik pandai itu. Bengek dan kedinginan adalah selimut usianya yang terus merangkak ke pangkal hidup. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya. Ya pelan-pelan keluhan-keluhan itu mengerubungiku, dan aku tak bisa berbuat banyak.
Makanya, ketika Fitri protes karena ia sudah merasa capek dan berupaya mengisi tudung saji dengan masakan bikinannya dan tak aku sentuh, aku jadi tambah senewen. Ia tak berempati sedikitpun pada perutku yang kian hari terlihat seperti disumpal ban dalam sepeda motor. Akhirnya sebagai jalan tengah, aku ajak ia mendiskusikan ini. Mendiskusikan bahwa faktanya, usia kami pelan-pelan menyusul mereka yang jadi sering sakit-sakitan lantaran menua. Sudahlah, sekarang kita tak perlu neko-neko soal makanan. Cukup yang dibutuhkan metabolisme saja. Inti perbincangan kami di sekitaran itu.
Jadilah sehabis itu aku dan Fitri berupaya tak muluk-muluk untuk meluangkan waktu buat jajan. Paling mentok kalau sedang sange pengen jajan, kami cari warung mi ayam dan bakso. Martabak manis dengan isian keju cokelat pisang favoritku dulu juga otomatis hilang dari daftar kudapan yang harus dibeli ketika aku ingin self reward. Kalau sampai si Brewok Ahsanul Mahdzi tahu ini, ia pasti akan berkelakar, bahwa aku memang ditakdirkan jadi pertapa, yang hidup dengan tapa ngrowot alias makan buah-buahan.
Habis, mau bagaimana lagi, usia kian tua saja, Bung!