Sembari membetulkan tusuk konde berkata ia
Di hadapan mata cekung anak-anak kami
Cuma gelembung milik gelombang laut berkilauan
Mampu mengaburkan duka menggores
Lambung demi lambung tipis kering mereka
Bagaimanapun kami percaya saja kepadanya
Pada selendang beludru merahnya, pada cahaya
Bulan yang akan terus memutihkan tanggal lahirnya
Serta pada bau maut melingkar di leher kami
Bayang-bayang tubuh kami bertiga
Diombang-ambing lidah lampu minyak kelapa
Suara tingginya seketika mengguncang
Aneka bakteri yang tidur di tobong logam
Milik penjual susu tetangga
Ia memilih sehelai rambut dari salah satu
Ubun-ubun kami. Betapa terpukul kami
Menyaksikan bagaimana ia memanjangkannya
Seolah-olah hendak menyatukan gugus pulau
Tahiti dan Asamoa nun di seberang sana
Galiung-galiung serta jukung-jukung
Itu tak perlu berlayar lagilah kini demi
Terdesak oleh bubuk mesiu atau
Bebulir merica
Belum habis decak kagum kami, berjanjilah ia
Pada kami akan juga mengajari bagaimana
Cara menyulut telunjuk agar bercahaya ujungnya
Hingga kami bisa menelusuri jalan gelap sejarah
Dari mana sejatinya wabah cacar air dan kolera
Di kampung kami ini bermula
Aku mengangguk-angguk saja mengikuti
Batang leher anak-anakku meski tetap
Saja langit-langit mulutku mengering seketika
Tatkala ia meminta kami bertiga agar silih berganti
Menghafal nama depan Tuan Noah Harari
Apakah Ia penakluk semesta atau
Pembenci lagu-lagumu?
Apakah Ia seorang penyair sejati atau
Sebatas kerani belaka?
Apakah Ia pejabat nan tinggi atau
Cuma kaum rendahan seperti kami?
Sekali lagi kudengar suaranya mendaki
Sementara anak-anak kami membelah gelap
Dari samudra
(Semarang, April-Mei 2020)