Aku datang kali pertama ke Toga Mas Semarang tepat
dua hari setelah pacarku mengirimkan pesan pendeknya, bahwa dia minta ditemani
buat mencari novel Murakami, Norwegian Wood atau judul lain aku agak
lupa pokoknya sekitaran itulah. Waktu itu Toga masih ada di jalan MT Haryono, belum pindahan
ke jalan Majapahit. Pertanyaanku ‘kenapa tidak ke Gramedia saja’, dijawabnya
dengan meminjam keyakinan seorang penjual obat mujarobat di pasar hewan, bahwa
beli buku di Toga, bakal membuat tiap
orang cenderung bertabiat macam pemadat. Toga seumur hidupmu akan kasih diskon,
dia menambahkan selekas yang dia bisa begitu dia turun dari boncengan. Lima
belas persen buat umum, dua puluh lima persen buat yang pegang kartu. Pemaparan yang menurutnya asyik itu aku tanggapi
dengan perasaan masa bodoh. Lantaran bagiku—jembel dengan grafik keuangan statis datar di bawah;
fitur Jongkok—Baca Gratis—Abis Itu Pergi
yang diberikan Gramedia kupikir
tak bisa digeser kenikmatannya oleh pihak manapun. Kaum oportunis akan selalu
bilang Mana ada toko buku yang legawa
kasih begituan sih. Aku merutuk dan
melangkah malas menjinjing helm di belakang pacar yang melenggang duluan.
Tiga Puluh Lima. Dua
puluh sajalah dulu. Sekalian saja Tiga Lima. Dua puluh dulu, sisa duitnya buat jaga-jaga jika nanti ada keperluan.
Ya sudah Dua Puluh Lima. Pfffhh. Kau
tak perlu berlagak pusing menebak
kalimat mana milik siapa, tapi yang jelas, dialog visioner itu terjadi di Toga (Toga Mas yang sudah pindah dari jalan MT
Haryono ke jalan Majapahit) antara aku dan pacar. Ceritanya begini. Aku punya tabungan sebanyak
satu setengah juta. Pacarku punya tabungan dua juta. Kami sepakat belaka buat mempercayai, bahwa Tuhan dan Uang
Sebanyak Tiga Juta Lima Ratus Ribu itu sudah pasti jauh-jauh hari punya rencana
mendorongkan nasib baru bagi sepasang manusia agak pandir ini: pedagang buku
partikelir. Beberapa buku yang
jadi kulakan pertama kali itu masih bisa kuingat. Ada 1984-nya
George Orwell terjemahan Landung Simatupang yang kami angkut dua ekslempar. Di
tumpukan buku yang kemudian kumasukkan plastik kresek besar itu juga ada novel
milik Mo Yan, Ryunusuke Akutagawa, William Golding, satu edisi hard cover Totto Chan-nya Tetsuko
Kuroyanagi dan yang lain sisanya, kalau tak meleset dalam mengingat kami angkut
juga Amba-nya Laksmi Pamuntjak serta
Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono.
Hari itu hari Minggu yang terik di bulan Juli 2013. Di teras Toga,
sembari duduk bertelekan buku-buku, menenggak
air dari botol, mengelap yang muncrat di bibir, aku ciptakan gumaman:
bakalan miskin terus kita dengan ini. Aku menyisir tampang pacarku yang
malas-malasan menatap jalanan. Ya, kita akan miskin dengan semua ini. Suara
pacarku yang terakhir ini terdengar seperti echo
bass di ruangan dingin dan murung. Dengan berdagang buku, jelas kiranya, sumur
tempat bunuh diri mana yang kami acungi
telunjuk buat kami ceburi.
Dua Ribu Tiga Belas menjadi Dua Ribu Empat Belas, Dua Ribu Empat Belas
Menjadi Dua Ribu Lima Belas, dan kami tetap berkitar di lingkaran itu-itu saja.
Kami masih pacaran dan masih tetap ajek jualan buku ke sana kemari. Ke
kampus-kampus jika ada diskusi kecil-kecilan yang diadakan oleh UKM-UKM sastra dan teater. Ke perhelatan-perhelatan
komunitas yang kebetulan sedang mengagendakan panggung baca puisi. Ke
acara-acara teman kami yang kebetulan sedang membikin diskusi buku. Kami juga
acap menggelar lapak di Car freeday saban Minggu, nongol di pasar seni rakyat, sampai turut serta meramaikan festival
sastra. Kota ini seolah jadi kamera yang tiada jenuh memotret keputus-asaan kami sekaligus elan
vital kami berdua.
Tahun-tahun tandus di Semarang mengajari kami buat
jadi orang-orang yang keras kepala. Anggap saja ini situasi yang hiperbolis.
Tapi datanglah sesekali ke sini, dan kau akan tahu dan memahami dan akan
lekas-lekas menggulung lidah jika kau pernah ingin mengucapkan, bahwa
semestinya niat baik akan berbalas dengan iktikad baik pula. Kasarnya, segala
yang kau tanam di kota ini cuma akan jadi kerak tahi.
Bagaimana kau tak dibuat murung, di sini ada banyak
universitas, fakultas-fakultas sastra dan bahasa juga ada di situ, tapi aku yakin
kau akan kehabisan cara bagaimana mengungkapkan kejengkelan pada ribuan
mahasiswa itu kenapa mereka begitu malas membaca buku. Pernah datang padaku
suatu kali seorang mahasiswa sastra Indonesia Universitas Diponegoro, ke tempat
aku biasa membuka lapak saban Minggu di Kota Lama. Dengan bersemangat dan lagak
sumringah dia pamer bahwa dia pengin bikin skripsi tentang novel atau cerita
karangan atau apalah sejenis itu. Dia, dengan lagak jumawa mengimbuhkan
keterangan, bahwa novel bahan skripsinya itu mustilah anggitan pengarang dari
Semarang. Aku tetap menyediakan kuping yang tabah ketika dia terus mengoceh bahwa
sebenarnya ada satu kendala besar yang membuat dirinya geram,
menjadi ruwet dan bingung harus bagaimana memulai penelitian itu. Menurut dia, kendala
besar itu lantaran dia merasa tak ada satu
pun pengarang Semarang yang ia ketahui
menerbitkan novel atau kumpulan cerpen. Keringat di ketiakku berlelehan dua
kali lipat dari biasanya demi mendengar
itu.
Aku sebenarnya enggan melemparkan pertanyaan berbau
interogasi seandainya dua pekan sesudahnya kami tak bertemu lagi di tempat yang
sama dengan situasi dialog yang kami salin dari hari Minggu sebelumnya. Dia
masih teguh membawa kesemrawutan hidupnya, dan bertanya sekali lagi kepadaku
apa yang harus ia lakukan terhadap rencana penelitiannya. Begini saja. Apa kamu
sudah baca Kembang Api Malam Ini milik Latree Manohara? Dia menggeleng. Di Kereta, Kita Selingkuh-nya Budi
Maryono? Dia menggeleng. Bidadari
Mengembara, A.S Laksana? Dia menggeleng. Serapah
Ibu, Sandra Palupi? Menggeleng lagi dia. Nyanyian Penggali Kubur milik Kang Putu? Menggeleng. Rumah
Kopi Singa Tertawa, Yusi Avianto? Menggeleng. Aktivitas menggelengnya baru
berhenti ketika aku tanyakan apakah ia
pernah menyentuh buku Surga Sungsang
dan Celeng
Satu Celeng Semua milik Triyanto Triwikromo. Yang terakhir ini aku sudah
berharap bakal mengakhiri paceklik anggukan. Ternyata aku keliru. Dia balik
melemparkan pertanyaan—apakah Triyanto Triwikromo yang mengampu kuliah di
Undip?—yang membuatku, seandainya tega, memintanya lekas-lekas kencing dan
menenggak air seninya sendiri saja.
Bahkan sampai di akhir perbincangan kami, si
mahasiswa ini merasa heran dan sangsi jika salah seorang dosen yang sering bertatap
muka dengannya di kampus itu adalah seorang pengarang cerita pendek dan novel. Mahasiswa
itu boleh saja geram lantaran tak bisa memulai penelitiannya. Aku sendiri jadi
geram melihat situasi macam begini. Ternyata kita semua masih butuh universitas
khusus yang menyediakan fakultas dengan program studi, Membaca Buku, atau program studi
Membaca Agar Bisa Berpikir,
misalnya. Tentu saja, meski belum bisa dijadikan acuan seratus persen, kasus-kasus
macam ini bisa kita tangkup sebagai
ilustrasi betapa payahnya aktivitas
membaca di kota ini.
Ini sudah Februari 2018. Aku dan pacarku masih berpacaran layaknya
pasangan-pasangan menyedihkan lain yang
lama menyulam asmara namun
dibuat resah kapan menentukan hari
pernikahan lantaran tak punya modal buat menyewa soundsystem dan rias manten. Tabungan kami tetap ajek segitu-gitu
saja, karena tiap ada lebihan uang di buku rekening, baik itu dari menang lomba
menulis atau dapat honor dari meresensi buku di Jawa Pos atau di Koran Tempo
atau Cerpen di Tabloid Cempaka Minggu Ini atau di Koran Lombok Post semuanya
ludes bertukar dengan buku-buku yang semakin lama semakin rapat saja menjejali
kamar kos-kosan. Sebuah mukjizat
kiranya, di tahun ini, seorang kawan yang aku sendiri sangsi apakah dia masih
memiliki kewarasannya atau tak, lantaran ia begitu saja bersedia menjadi
pedagang buku bersama kami. Selanjutnya
Kami bertiga tetap berkeliling-keliling kota menjajakan buku-buku. Ke
kampus-kampus, ke media daring, ke tempat-tempat nongkrong, ke rumah-rumah dimana
digelar diskusi, sampai ke acara pengajian. Kami menganggap kerja kami ini
semacam pakansi spritual, bahkan dengan congkaknya kawanku berani bilang; kita
harus berdagang buku sampai hari kiamat tiba.
Aku jadi teringat kalimat You’ll Never Walk Alone yang
ditulis besar-besar di spanduk, pada sebuah malam ketika aku pulang melewati
jalan Pemuda. Para pendukung militan kelab sepakbola Liverpool akan selalu
menggunakan yel-yel sloganistis itu buat mengubur pesimisme hidup mereka dari
kekalahan telak pertandingan, dari cemoohan pendukung kelab lain, dari dunia
yang lihai mengembuskan penderitaan.
Bulan Februari ini Toga Mas di Semarang bakalan
tutup. Kau dan aku dan siapa saja tentu tak bakal lagi, menemukan toko buku
yang begitu blobo dalam memberikan
potongan harga. Dengan segala kepayahan perkara membaca di kota ini, alangkah mustahil
kami berharap bahwa tutupnya Toga bakal
menjadi kesedihan kolektif. Aku dan
pacarku dan seorang kawanku cuma bisa berdeham dan parau terbatuk membayangkan
kenyataan buruk itu datang dalam beberapa hari ke depan. Dalam hari-hari yang
akan datang, kau barangkali tetap akan melihat
kami masih sibuk dengan kerja kami. Memilah buku-buku; novel ditumpuk
bersama novel, yang puisi dengan puisi, yang sejarah dengan sejarah. Memilah mana
buku yang bagus buat dibaca khalayak dan buku mana yang sebaiknya dijadikan
penyumpal pantat penulisnya. Barangkali yang tak kau lihat adalah bagaimana
tangan kami agak gemetar demi mendengar desisan suara kami sendiri: You’ll never walk alone, you’ll never walk
alone...[.]
Semarang, Februari 2018