Tiap
orang boleh saja memiliki tokoh yang dikagumi sepanjang hayat. Jika seseorang
menyukai sepakbola, sah-sah saja jika mengagumi
Gabriel Omar Batistuta, atau jika ia memilih
menyukai golf maka tak heran jika ia memuja-muja Tiger Wood. Atau jika kau menyukai
badminton, di kamarmu kau tentunya akan menempelkan poster Susi Susanti atau
Liem Swie King dalam gerakan nyentrik, sedang melakukan smash maut mereka. Sebagai
catatan tambahan, kau akan siap berperang
sampai berdarah-darah dengan siapa saja
yang berani menurunkan gambar mereka dari dinding, bahkan seandainya yang mencopot bapakmu sendiri atau seorang menteri urusan pemuda dan olahraga.
Biasanya
seseorang mengelu-elukan orang lain atas
kesamaan bidang yang mereka kerjakan. Atau apa yang mereka sukai. Jarang sekali, kita
temukan seseorang mendaku keranjingan sepakbola lantas mengidolakan atlet
dayung, misalnya.
Heranku
dan sayangnya, kepadaku sampai sekarang tidak ada yang bertanya, siapakah gerangan sosok yang paling aku kagumi di
semesta raya ini. Padahal jika ada, maka aku akan segera melompat dan berdiri
tegak dan mengangkat lenganku dan meluruskan telunjukku ke arah punggung lelaki
yang permukaannya berwarna mangkak sekaligus licin seperti ikan lele di seberang
tempat aku duduk. Ia masih bergerak gesit sembari tetap menjaga
keajekan ayunan ketika menjungkat-jungkitkan gagang pompa air. Naik turun, naik turun.
Gerakan semacam itu cuma bisa disamai ketepatan mekanisnya oleh jeroan mesin
motor.
Angin,
yang membawa ruapan khas bau kali, memukul-mukul ranting dan beberapa helai
daun belimbing wuluh kering yang
menaungi kepala lelaki itu. Akhirnya
daun-daun terpaksa merelakan diri
mereka jatuh ke rambutnya yang jadi
terlihat seperti sarang bagi
kelemumur-kelemumur raksasa.
Umurnya
tiga kali umurku, jika aku tak meleset membuat perhitungan. Ia tinggi kurus. Berambut panjang namun
digelung dengan karet gelang, atau kadang-kadang rafia. Orang tak mungkin
tertukar penglihatan dengan lelaki lain, lantaran, sehari-hari, cuma ia yang
selama dua puluh empat jam tak pernah mengijinkan kain dalam bentuk apapun
menutupi bagian atas tubuhnya. Percayalah, cuma di hari raya Idul Fitri ia mengenakan
baju koko untuk salat Ied di Simpanglima
atau ia akan mengenakan kaus berkerah hadiah dari Toko Emas
ketika terpaksa menghadiri undangan tahlilan di kampung sebelah.
Selebihnya, orang-orang yang antre berak di delapan bilik jambannya akan
menyaksikan tulang-tulang rusuknya yang menonjol berkeras ingin melesak keluar,
beberapa tonjolan kutil yang menyebar di
punggung dan di bawah ketiak, serta, ini
yang agak penting—bekas tato di dada kanannya,
yang konon, adalah tato naga dan sudah bertahun-tahun disetrika, dan bekas setrikaan
itu membuat tonjolan yang, jika dibaca dari jarak sejauh kurang lebih tiga kaki, terlihat seperti huruf K.
Lantaran orang-orang yang hidup di sepanjang
bantaran kali ini memanggilnya dengan sebutan Man Kakus, aku juga memanggilnya
demikian. Sebenarnya aku ingin memanggilnya dengan sebutan lebih terhormat namun
tak pernah bisa mewujudkannya, meskipun aku sempat mengira-ngira siapakah
sesungguhnya nama lengkapnya. Parman, Leman, Zaman, atau Syuman atau siapapun
agar paling tidak aku bisa meninggikan derajatnya. Bertahun-tahun aku berangkat
tidur sambil terus menambah kumpulan nama yang berakhiran ’-man’. Namun sialnya, bahkan hingga tujuh tahun berlalu sejak aku lulus dari sekolah kejuruan, dan sepuluh
tahun sejak aku memutuskan menumpuk
poster Valentino Rossi dan menutupinya dengan foto Man Kakus yang sengaja aku
cetak dalam ukuran besar A3 (sementara poster Rossi cuma ukuran A4— hadiah
akhir tahun dari tabloid otomotif) di
dinding papan tempat aku biasa tidur, aku seperti mendapati perjalanan
melingkar untuk menguntit nama dan asal-usulnya.
“Entahlah,
siapa aslinya nama dia itu.” Begitu kata Ah Ciu, Cina Tua penjual es batu yang membuka lapak kecilnya di dekat jembatan
Plampitan. Jawaban dari lelaki bermata
sipit renta yang aku perkirakan sepuluh sampai dua puluh tahun lebih tua dari
Man Kakus itu seolah mewakili jawaban dari banyak orang yang aku tanyai. Cuma,
aku sedikit lega, darinyalah aku mendapatkan gambaran lebih tentang diri Man Kakus.
“Kapan
ya, tahun 80, atau 81, atau sekitar itulah, seorang pemuda sepantaranmu, ujug-ujug datang ke sini. Aku kurang
paham apakah dia tuh berasal dari Nganjuk, atau Banjarnegara, atau Wonosari, yang
pasti logat bicaranya bukan logat
orang-orang sini deh. Awalnya ya, aku pikir pemuda itu sinting, berkeras menyeru kepada para tukang becak dan sopir daihatsu, juga pedagang asongan, agar
janganlah lagi berak di kali. Ah,
sinting pokoknya kupikirlah itu pemuda pertama kali liat dia.”
Dari
cerita Ah Ciu, aku tahu, satu bulan setelah kedatangannya di kota ini, Man
Kakus menanam empat bilah papan ke bumi,
memacak sebuah atap dari ijuk di atasnya, ia mencoak tanah, serta menggali
saluran sepanjang lima belas kaki dari lubang jamban pertama ciptaannya itu ke
arah kali Wotgandul. Aku pernah membaca di beberapa buku ensklopedia, dan dari sanalah
akhirnya menyimpulkan: orang-orang seperti Copernicus, Enstein atau Edison
memang harus menjalani laku untuk dicap sebagai ‘orang-orang sesat dan lemah
pikir’ terlebih dahulu sebelum buah pemikiran mereka diakui sebagai gagasan
cemerlang yang mampu menerangi jagat.
Dan begitulah awalnya nasib Man Kakus.