Tahun ini
buku kumpulan puisi dari penyair
Makassar, M Aan Mansyur; Melihat Api
Bekerja terbit dan saya belum sempat membelinya. Judul buku puisi tersebut
saya akrabi dari beberapa media sosial yang mengunggah sampulnya. Pada Sabtu
malam, 9 Mei 2015 dari pukul sembilan Pasar
Johar Semarang terbakar dan sampai siang pukul satu keesokan harinya api baru
bisa dipadamkan. Dari situlah frasa judul buku puisi Aan
Mansyur mengganas menghantui penglihatan saya. Memberikan visi apokaliptik yang buruk sekali tentang api.
Tentang pasar—yang bahkan tukang becak pun sampai membuat ledekan getir; pasar belum jadi pasar jika belum terbakar.
Saya diikuti terus oleh kelebatan benda-benda yang moksa di antara rimba nyala api yang “bekerja”.
Semakin berjejalan saja gemuruh emosi
yang tumpang tindih di atas ingatan-ingatan atas pasar Johar ketika seorang kawan
mengabarkan bahwa ia baru saja mendapatkan keterangan via pesan singkat dari
Pak Edi, salah satu pedagang buku loak di sana. Seluruhnya ludes bro, minta doanya saja ya. Begitu pesan singkatnya.
Kali
pertama saya menginjakkan kaki di deretan kios-kios buku lantai dua pasar Johar,
adalah ketika saya kelas III SD dan
diajak oleh ayah, yang biasanya memberikan saya hadiah
dua minggu sekali berupa bundelan majalah Bobo lawas atau majalah Donal Bebek atau beberapa jilid kumal
dari seri komik Kungfu Boy milik Takeshi
Maekawa. Waktu itu saya naik kelas
dengan nilai tanpa warna merah dan sebagai imbalan prestasi gemilang tersebut saya
merajuk untuk ditunjukkan tempat di mana ia selama ini memborong
majalah-majalah dan komik bekas.
Di
sanalah kemudian seorang anak kecil duduk dan tersenyum sendiri menemukan sorga
itu ada dan tidak perlu menunggu mati dulu seperti dikisahkan oleh orang-orang saleh.
Anak
kecil itu tak pernah berpikir, bahwa di masa-masa usia dua puluhannya kelak ia akan
banyak berhutang kepada buku-buku di kios-kios tersebut.