Seandainya kita katakan, sebuah sajak adalah bentuk mimesis dari apa yang dihadapinya di luar sebuah wujud penciptaan, tentu ia kita perkenankan mengambil, menyerobot, dan mendaur ulang semua itu sebagai sebuah representasi kejadian-kejadian yang pernah dialami. Dan bagi pembaca, menikmati sebuah sajak tak lain memberikan pelajaran pada –ketubuhan- kita, untuk menerima, setelah upaya mempertanyakan serta mempernyatakan terkadang mesti gagal, kita diminta menabahkan diri ketika tidak mendapatkan apapun yang kita inginkan. ... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat. Penggalan dari Chairil Anwar itu kiranya yang akan mewakili kita ketika berhadapan dengan sebuah teks sastra. Kita seperti diminta untuk menerima sesuatu yang transenden dalam pemahaman yang temporal.
Adalah camera obscura, bahasa Latin untuk "ruang gelap", mekanisme awal untuk memproyeksikan tampilan, menangkap gambar maupun bayangan. Yang muncul pada abad 16, dan kita mencatat nama Girolamo Cardano, sebelum pada akhirnya pada tahun 1829 Joseph Nicepore dan Louis Daguerre—dua orang perancis, membuat kamera Daguerreotype, cikal bakal kamera yang digunakan banyak orang sekarang. Jadi di wilayah inilah penciptaan sajak-sajak Ganjar saya curigai; dia berupaya memotret (baca: mengabadikan) peristiwa-peristiwa yang melintas dan berlalu lalang melalui mata dan telinganya, melalui media elektronik headphone-nya, komputernya, pemutar musik telepon genggamnya.
...pasanglah headphone, lalu nikmatkanlah dirimu rapat-rapat,
nikmatkanlah. sebuah kaset tak habis-habisnya untuk diputar;
sembari kita tahu, ini minggu yang sibuk:
--aku yang menerjemahkan bibirmu
--kamu yang mengisyaratkan bibirku.
dalam sajak “Nota Perjanjian”
Betapa memang, kita tiap hari, bahkan tiap sepersekian menit, telinga kita, mata kita, nalar kita diserang oleh sesuatu yang masif dan bertubi-tubi. Lagu-lagu, suara pengamen, teriakan demonstrasi, orasi-orasi politik, tayangan iklan dari televisi, radio, arus informasi internet yang sesak berjubelan memaksakan diri mereka untuk kita dengar kita baca. Sebuah arus kebudayaan membawa kecanggihan yang membuat telinga-mata-nalar- kita niscaya akan “berdarah” sebelum sempat menangkapnya utuh lantaran semuanya melintas sedemikan cepat setelah seenaknya mengiris keberadaan kita.
...jurang-jurang itu
adalah doa-doa kita dulu yang terlampau tinggi. memohon
tuhan untuk melarang manusia mendirikan gedung-gedung
bertingkat, perumahan-perumahan mewah, dan menciptakan
internet...
dalam sajak “Glosoli”
ini barangkali yang, mengulang kembali apa yang telah dikatakan Terrence Francis Eagleton, pada prinsipnya, estetika adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang dalam konteks ini menjadi antonim bagi penciptaan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan segala sesuatu yang bersifat inderawi (sensuous), konkret, bersifat nisbi, terbatas, kesementaraan.
...
kami sedang ada di atas, melukis kalian, kata mereka
.....
maka berkatalah seorang di antara yang lain:
dunia ini akan lekas penuh angin
dan kata-kata akan lekas kembali dibutuhkan
untuk membikin kalian abadi
dari sajak “Hoppipolla”
dan Ganjar memotret yang menghantui inderawinya, agar dalam keniscayaan, yang berkelebat dengan sangat cepat bisa diabadikan, kita diajak untuk membekukan ingatan demi kita yang merasa labil akibat kehilangan. Kita diingatkan pada penggalan sajak Goenawan Mohamad: ... separuh ilusi//sesuatu yang kelak retak// dan kita membikinnya abadi// .
...ah, kita selalu saja risau pada ingatan. apapun itu.
tak ada doraemon di sini. tapi di masa lalu, diam-diam
kita seringkali adalah nobita dan terkadang sinchan;
waktu telah diuji, kita berulang-ulang ingin saja
pun khusyuk membayangkan: dunia ini
mudah sekali berubah, bukan?
aku ingin sekali punya sayap, kitaku
sebelum ingatan menamakan dirinya hantu.
dalam Sajak Glosoli
Peristiwa, kejadian yang membahagiakan dan bahkan tragedi berkemungkinan melintasi kita saling sengkarut dan bergantian. Selalu ada yang berubah sebab kita terus menerus tak bisa dengan mudah keluar dari lajur perwaktuan. kita akan sangat sulit sekali lepas dari elemen-elemen waktu—masa lalu-masa sekarang-dan masa depan. Sementara kita memerlukan media sebagai representasi dari yang bergerak cepat itu. Maka di wilayah kegelisahan ini Ganjar mencoba mengabadikan itu semua. Sebab tiap orang sejatinya merasa cemas, dan berusaha mengabadikan apapun yang pernah dan sedang dimiliki, betapa kecemasan itu menjadi pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh sajak Ganjar,
Gelang
terima kasih, dik. katamu. yang putus telah kembali;
kamu telah susah payah mencari di toko ini-itu
sampai ke toko mainan anak-anak.
bagaimana tidak...kita memang selalu
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan:
mencari untuk melengkapi atas apa
yang kita rindukan, atau
menerima diri kita yang sebenarnya
telah tuntas
mengenakan atau melepas
2012
Mencatat proses kreatif sajak-sajak Ganjar adalah menimbang lagi bagaimana secara terbuka Afrizal Malna dalam tulisan panjangnya di akhir kumpulan sajak Kalung Dari teman, ia juga merasa pernah dihantui oleh bayangan sajak Amir Hamzah-Chairil anwar-Rendra kemudian merasa bersamaan juga dikerubungi oleh teks-teks Goenawan Mohamad- Sapardi Djoko Damono- Sutardji Calzoum Bachri dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, Bukankah seperti yang ditulis di sajak Ganjar, Kesepian sebenarnya tidak pernah ada. Kita adalah tubuh yang mengalami aktivitas tarik menarik dengan apa yang ada di sekitar kita. Sajak Ganjar juga barangkali mau tidak mau terkontaminasi dengan teks-teks yang pernah ada dan berkeliaran di sekujur perangkat inderawinya. Tidak ada sebuah teks yang lahir sendirian. Namun bergeser dari itu, sajak-sajak yang selama ini diciptakan Ganjar, terutama beberapa sajak yang terlihat di sini, begitu terasa kerapianya, bagaimana enjambment menciptakan ayunan yang dialektis, konstruksi suasana yang hampir menyergap di sana-sini, simbolik-simbolik dan personasifikasi yang timbul-tenggelam-merayap-merandai dalam lingkaran romantisme melankolis. kita jadi melulu merasa menjadi kekasih atau seseorang yang memliki kekasih dan didorong untuk berterima kasih kepada jarak, kepada kepenatan lantaran dari sanalah kita bisa membahagiakan kerinduan. Dari proses rajut kepengrajinan sajak penyair ini yang membekas adalah bagaimana kegigihan dalam mempertahankan upaya-upaya eksplorasi-intelektualitas, memanfaatkan benturan maupun sergapan sesuatu yang asing dan membawa unsur ensklopedis. Seperti membiarkan pintu sajaknya terbuka begitu saja agar bahkan sesuatu yang barangkali kita anggap asing, baik itu berupa bahasa, film, lagu, gaya hidup dari nun jauh yang bahkan awalnya tidak kita kenal masuk, masuk begitu saja. Itu barangkali yang menjadikan sajak-sajak Ganjar kaya penafsiran, kaya pengucapan. Seperti di beberapa sajak yang saya tangkap di sini, ada Glosoli, Hoppipolla, dan Olsen, yang pada akhirnya, sajak tersebut saya tangkap sebagai potret tertulis yang mekar dari lagu-lagu milik Sigur Ros, sebuah ambient-post rock band dari Reykjavik, kota di negara Iceland. Barangkali kita memang tidak perlu mencari sumber deviasi antara sajak-sajak Ganjar dengan lagu-lagu tersebut. Seseorang bisa saja dan boleh menulis sajak dari medium televisi, memperhatikan selokan di depan rumahnya, menjerat lukisan dari sebuah pameran, mengintip orang-orang yang berjalan dari jendela kamar, menciptakan sajak dari kemacetan, perjalanan dari kota satu ke kota lain.Mengais sajak dari kutipan-kutipan bijak orang-orang, dari buku-buku atau dari apapun.
Saya rasa keberhasilan sajak Ganjar adalah, ketika pembaca justru tidak memerlukan kondisi korelasi dengan lagu-lagu milik Sigur Ros....., keadaan a-historis yang menciptakan interpretasi diskursif terhadap sajak-sajaknya, justru menjadi serangkaian pemaknaan yang merdeka di hadapan pembaca. Ya, sekali lagi, kitalah pembaca itu,
... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat.
________________________________________________________________
Semarang, 1 november 2012.
Arif Fitra Kurniawan. Bergiat serius di Komunitas Lacikata-Semarang