KREDO- RUANG PERTARUNGAN BAHASA (Jawa Pos, 24 Juli 2016)



Judul:  Pinara Pitu
Penulis: Mira MM Astra
Cetakan: I,  Mei 2016
Penerbit: Gambang Buku Budaya
Jumlah halaman: 104 halaman
ISBN: 978-602-6776-23-5

                Bolehlah kita sementara menahan peribahasa lama: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, untuk menggambarkan lebih banyak jerih yang mesti ditanggung seorang pembaca ketika  berhadapan, mencebur, tenggelam, sekuat tenaga  tetap mengapung sampai garis pinggir, lantas  mentas dari teks-teks puisi Pinara Pitu (Gambang Budaya, 2016). Sebanyak 33 judul puisi termaktub di dalamnya. Buku puisi tersebut  dianggit  Mira MM Astra, nama pena dari  Mira Novianti—penyair  kelahiran  Denpasar, yang sempat bertahun-tahun melanglang ke berbagai daerah di Indonesia dan bahkan sempat mukim di  Cekoslovakia demi menyelesaikan proses belajarnya. Bertahun-tahun  tangan tualang  menyeret Mira keluar dari kampung kelahiran. Bertahun-tahun tempat-tempat ‘asing’  mengajarinya banyak hal. Bertahun-tahun banyak hal tersebut  pada akhirnya harus  ia akui  mengajarinya satu hal; bahwa hidup harus ditulis. Dan Mira memutuskan laku spiritual-literernya  dengan  menganggit puisi. Puisi bagi Mira tiada lain adalah  kitab hidup.
                Lewat kata pengantarnya, belum-belum penyair kita, dengan bayang  gerak  tangan mengepal  ke atas  sudah mewanti-wanti para pemirsa, sekaligus  dirinya sendiri: “Puisi itu harus bunyi! Puisi harus dari dalam diri! Harus mampu meyakinkan.” Ya. Jika para penyair selalu bisa membuat kredonya sendiri, para pemirsa sebaiknya jadi penguji setegak dan sekokoh  apa kredo itu mampu muncul dalam teks-teks puisinya. Agar kredo tak sekadar omong kosong belaka.
                Ada yang menarik dari kecenderungan beberapa penyair beberapa tahun terakhir ini, yakni kepercayaan diri mereka dalam  mengolah puisi menggunakan  bahasa dari  perkakas parole. Mereka menggunakan  ujaran lisan serta  bahasa ibu mereka  untuk menyusun bait  demi  bait. Pun Mira.  Simaklah: Majene, Majene/ di paras sasiq-mu/siapa bisa menduga bijak cuaca/ angin tanjung berliku menentang rahasia/ tempaan terik bulan dan derai hujan (Majene, hal:58)
                Bagi pemirsa pengguna bahasa Indonesia sebagai lingua franca, bait tersebut tentunya tak akan habis sekali kunyah. Bait  alot  yang memaksa geraham kita dengan segala kehati-hatian atau pun sikap jengkel  akan mengeram-eram dugaan, apa itu Majene, apa itu sasiq.  Belum lagi ketika kata-kata ‘asing’ tersebut sudah lebur juga  dalam susunan-susunan metafora  antropomorfik yang dimiliki puisi. Meskipun dalam sikap cengengesan dan keisengan menduga, kita tak bisa begitu saja seenaknya  mengubah kata Majene dengan kata Batagor, atau dengan kata Mengamuk atau Kotoran Hidung. Sementara kata sasiq kita artikan sebagai  Lapar, atau Bola Pingpong atau Sumbu Kompor.  Kredo penyair yang mengharuskan puisi harus dari dalam diri berhadapan dengan hasrat pembaca yang sepenuhnya ingin memiliki sesuatu yang asing pada akhirnya menciptakan ruang pertarungan bagi bahasa.

LANGKAH MUNDUR SEEKOR GAJAH



Kali ini memang ia lulut, tak hendak berkata banyak

Bagaimana subuh tadi keberaniannya dikhianati
hingga rusaklah  semak  terinjak ia yang  terburu-buru
berlarian di setapak pinggiran kali

-- perang sudah purna,

Ekornya melengkung dan jantungnya jadi sunyi
Ketika diulang desis itu lewat lidah si  telik sandi

Semburat cahaya begitu tajam  bagi
Sepasang mata sempitnya
Memang sempat menyanjung retakan tipis
Di gadingnya yang melengkung

“Ke langit, ke langit, kerabatku,penghamba kekuatan,
aduhai yang putih memplak milikmu akan naik
menjadi bintang-bintang”

Ka dan Puisi dan Puisi



Judul:  Salju
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Cetakan:  Agustus, 2015
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jumlah halaman: 665 halaman
Judul Asli: Snow/ Kar (B. Turki)
ISBN: 978-602-290-043-6

Kiranya Orhan Pamuk  memang tidak pernah kering dalam menghasilkan prosa  cemerlang. Bisa kita lihat, sejak novel pertamanya, Tuan Chevdet dan Anak Lelakinya  terbit pada tahun 1982, tangan Pamuk seolah menjelma pancuran tinta yang deras  dalam mengucurkan produk bacaan yang membuat kemerungsung  pembacanya. Novel keduanya, Rumah Kesunyian terbit dua tahun berselang. Kemudian menyusul dengan berjeda tahun; Kastil Putih (1985), Buku Hitam (1990), Kehidupan Baru (1995), Namaku Merah (2000), Salju (2002), dan Museum Kepolosan  yang terbit pada tahun 2008, atau dua tahun setelah Pamuk menerima Nobel Sastra.  Pembaca novel berbahasa Indonesia, meski sebenarnya agak menyedihkan, sebab kadangkala  terlambat membaca sebuah novel dengan rentang  nyaris  lima sampai  sepuluh tahun dari terbitnya novel  dalam edisi bahasa Inggrisnya, sudah sepatutnyalah  berlega hati,  sebab  beberapa novel Pamuk sudah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia. Dan sekarang,  telah tiba waktu bagi kita untuk  melongok novel ketujuh Pamuk ini, Salju, yang diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta (2015).
Lewat sang narator—Orhan Pamuk, teman dari tokoh yang ia kisahkan, akan kita kuntit tokoh utama  kita, Kerim Alakuşoğlu, yang lebih menyukai jika orang-orang memanggilnya dengan sebutan; Ka. Di halaman pertama, narator membuka kisahnya dengan paragraf yang terasa begitu dingin dan hening.
“Keheningan salju, pikir pria yang duduk di belakang sopir bus. Jika keadaan ini adalah awal sebuah puisi, dia akan menyebut perasaannya ‘keheningan salju.” (hlm 1)
Ka seorang penyair berusia 42 tahun.  Seorang penyair sekaligus seorang  wartawan yang  masa dua belas tahun suramnya ia habiskan di Jerman sebagai  buangan politik. Ka kembali ke  kota Kars, kota di mana ibunya pernah lahir dan dimakamkan. Di Kota yang terisolir dari dunia luar  inilah, di antara hujan salju yang terus menerus melabur tanah  dengan  hawa dingin serta ketebalan warna putih, satu demi satu peristiwa dikopek di hadapan  pembaca layaknya suguhan demo  kerunutan mengupas  bawang merah  oleh pakar  pembuat acar.  Peristiwa demi peristiwa saling belit-membelit.  Tragedi bunuh diri massal gadis berjilbab cuma awal, sebab ketegangan terus saja berlanjut dari bab ke bab. Penembakan kepala sekolah yang mengusung aturan sekuler dari pemerintah, ancaman-ancaman dan teror mematikan dari kubu agama, penembakan murid-murid madrasah aliyah, gerakan sparatis  guna menggulingkan negara sampai pada perbalahan bagaimana cara mempersepsikan Barat dan Timur, Sekuler dan Islam.