PUISI-PUISI YANG MUAT DI INDOPOS (Sabtu, 11 Oktober 2014)



JALAN KECIL

Rumah yang dulu pernah mengenalkanku
kepada kakimu yang menggurat seperti kayu
pada akhirnya akan kembali aku kisahkan
untuk mengusik air tenang yang tercetak
di dasar  puisi-puisiku yang tenggelam
menanggung beban berhulu hilir  kiasan

Di antara gingsul gigimu  yang menyeringai.
Yang  ingin menghentikan sebentar  perjalanan
melingkarku yang tak kunjung sampai,

Petang mengerucut.

Merasa pernah menyentuh
sebongkah rasa keibuan yang tak mungkin
bisa aku temukan lagi  sebagai padanan.

(Semarang, Agustus 2014)



DI PUING-PUING RUMAH KAMI

mesti kugambar dengan apa pecahan perangmu.
sebab pernah kukagumi juga bentuk roket,
bau belerang dan sikat gigi.

: kemarilah, temukan tanganKu,
sujudilah welas asihKu.

-- adakah yang  meleset aku hapalkan dari firmanmu?

aku obati keningku sendiri yang terbentur.
rasa putus asa sembunyi dalam jaket
aku cium biji-biji zaitun seperti mengenang
yang mustahil dari tangan nenek moyang
tentang
 harapan yang keliru mereka wariskan

(Semarang, Juli 2014)

SELALU BEGITU (Tabloid Cempaka edisi 29/ XXV/ 11-17 Oktober 2014)



Selalu Begitu

Dia akan datang rutin, menyeret langkahnya hingga aku begitu hafal suara sruk sruk sandalnya mengenai  lantai.  Dia  akan menaruh semangkuk  bubur di meja dekat kepalaku yang  pasrah  merebahi bantal, menyapu sebentar  bagian tepi spring bed  sampai sudut ruangan, menjumputi jika ada sedikit saja sarang laba-laba di tembok. Tidak ada yang boleh kotor sedikitpun. Ia kemudian akan membuka jendela, membiarkan udara dingin dibungkus  matahari  pukul setengah tujuh  pagi masuk ke dalam kamar. “Sarapan dulu, mas,” sambil mengelus pundakku dia akan lembut mengemas suaranya  seperti penyiar berita di radio RRI jaman dulu. Selalu  begitu. Dia sungguh telaten dan aku akan seperti anakan kucing  mengiau rewel,

Lidahku bosan Las, tiap hari ketemu bubur lagi,bubur lagi.
Iya, setiap hari aku akan mengudap menu menjengkelkan ini;  kalau tidak bubur  bayam, ya  bubur kacang hijau, kalau tidak bubur kacang hijau, bubur beras merah ikan tuna.  Kalau tidak ketiga aneka bubur tersebut, maka aku harus tabah dan betah menghadapi sederet daftar menu berisi irisan  buah-buahan. Pepaya-Pisang Ambon-Alpukat-Jambu biji.   Rasa-rasanya kian hari  tubuhku jadi  demikian  lembek dan menjijikkan. Satu  alasan  saja barangkali yang membuat aku bertahan menjadi manusia pemakan bubur  dan buah-buahan adalah suapan tangannya. Itu saja, bahwa aku harus sembuh, kata Lastri. Isteriku, suka—dukaku, tidur—terjagaku.
***

Aku kangen sekali pedas  rica-rica bebek”.  Merengeklah aku. Dan dia seenaknya  terkekeh  mendengar kekanakanku kumat lagi suatu hari.

Dia mengelus rambutku kemudian  mendekatkan sendoknya lagi ke mulutku. Sesuap lagi.  Sungguh, aku sudah benar-benar  ingin  muntah.
Iya, nanti kalau mas sudah sembuh, aku masakin rica-rica dengan cabai dan merica sekarung ya, bibirnya itu, aduh, selalu ranum ketika merekah. Ah, aku jadi gemetar sendiri, aku ingat kapan pertama kali nekat menciumnya; koridor gelap kampus. Sepasang manusia yang ditinggalkan teman-temannya. Perasaanku yang tiba-tiba begitu laki-laki. Cuaca dengan curah  hujan semau-maunya. Wajah pucatnya yang dingin. Tangannya yang basah. Buku-buku-terjatuh. Suara geluduk dan kilatan petir.  Sungguh sebuah adegan dalam ingatan  yang  niscaya  kedramatisasiannya cuma bisa ditandingi oleh  adegan Jack yang begitu khidmat memeluk Rose di palka ujung kapal Titanic.

Waktu bisa saja menggerus ingatan tentang hari-hari, tanggal-tanggal, jam-jam dan kejadian yang menyusunnya.Tapi tidak untuk ciuman pertama itu. Sebab sejak itulah kami tahu.  Kami digiring dan dimasukkan Tuhan ke  sebuah medan magnet  maha kuat untuk saling tarik menarik dan masing-masing mustahil keluar  dari sebuah rumusan;  aku mencintainya dan dia mencintai aku. Titik.
***
Selalu begitu. Dia akan senantiasa bersikap (ah, aku selalu berhalusinasi, dialah mahkluk  bersayap keperakan, yang diciptakan  Tuhan dari kejernihan cahaya, nyaris tanpa bopeng dan kerusakan sedikitpun.  Hati, pikiran dan jasad. Di buku pelajaran agama mahkluk itu diberi nama malaikat), sampai-sampai aku tidak yakin, apakah aku bisa terus mengimbangi cara dia dalam menyayangi atau tidak.  Hening.  Pikiranku menyeruak, menakar-nakar  kembali bagaimana dia selalu tergesa-gesa belanja ke pasar pada  jam   lima pagi, sesudah itu menyapu halaman, menyiapkan keperluanku dari mulai  sarapan, mandi, dan buang air. Sebelum akhirnya berangkat ke tempat dia bekerja, sebuah toko perlengkapan bayi. Sejak menikah  kami memang menyepakati untuk  tidak mempunyai pembantu rumah tangga, sebab  kami merasa masih mampu mengatur  banyak  hal dengan  tangan dan kaki kami sendiri.

BERLATIH MENGINGAT SEBUAH NOVEL: 1984



BERLATIH MENGINGAT SEBUAH NOVEL: 1984
Oleh: Arif Fitra Kurniawan*

Bercintalah dengan liar. Sebelum partai menghapus orgasme. Menyusur 1984 nya George Orwell  memang semestinya dari situ saja. Dari Percintaan. Julia dan Winston Smith. Simbol pemberontakan yang mewakili keinginan terselubung  penduduk Oceania terhadap kekuasaan. Orwell cerdas dalam menampilkan bagaimana sebuah sistem kekuasaan menerapkan dirinya.  Jeli ketika menciptakan realitas fiksi yang carut marut. London yang suramnya minta ampun di sebuah masa depan yang melompat dari tahun penulisannya—1949.  Orwell sedang menjadi Nostradamus meramalkan apa yang akan terjadi 36  dari  tahun dia menulis. Upayanya membangun arsitektur kesuraman membuat bergidik. Jalan-jalan berlapis debu dan cuilan-cuilan bom dan kadang organ tubuh manusia yang tak perlu dipedulikan. Bangunan-bangunan keropos. Kedai arak yang sumpek. Flat dengan saluran air yang mampat berbau kubis. Kesuraman dalam sebuah imajinasi futuristik. Teleskrin. Polisi pikiran. Benteng apung. Gedung partai berbentuk piramida baja. Ya, Julia dan Winston diciptakan untuk menggerakkan semua elemen-elemen tersebut. Percintaan memudahkan pembaca  dalam menerima 1984. Meski, seandainya Winston dibiarkan sendirian untuk membawa novel ini sampai akhirpun, plot masih tetap akan kuat beberapa pembaca. Tapi  percayalah, cara Julia dan Smith dalam bercinta akan kita  ingat . Bagaimana Winston merasa dekat dengan maut ketika membaca sobekan kertas bertulis “I Love You” dari  Julia, bagaimana Julia dengan ketangkasan seorang perempuan menunjukkan peta aman di balik pohon patah untuk bertemu Winston, bagaimana mereka menyembunyikan perasaan  mereka di hadapan teleskrin juga pembuatan kode-kode agar percintaan mereka berumur lebih panjang.

Saya  kadang sering merasa putus asa, jika berhadapan dengan sebuah bacaan, belum lagi  ditambah berkumpul dengan teman-teman, menyerahkan diri  ditodong dengan bedil  pertanyaan; menurutmu novel ini bagaimana, atau apa yang membuat kuat dan dikenang orang-orang dari novel yang kemarin kita  itu?. Rasanya meski  semakin banyak membaca, daya analitik saya tak pernah kemana-mana. Ajeg dan lengket dalam lingkaran kebebalan—novelnya bagus, atau karakter tokohnya kuat, atau ending-nya mengejutkan. Bah!
Berpijak dari rasa putus asa, saya jadi mudah gumunan, terhadap orang lain sesama pembaca, yang bisa mengungkapkan  panjang lebar dan mempunyai daya intelektual untuk menghubung-hubungkan sebuah bacaan dengan pemikiran ini, teori itu, wacana anu. Tapi baiklah, sebaiknya saya hibur diri saya sendiri dengan  apa yang dipikirkan Winston Smith dalam 1984, dalam situasi tertentu, kebodohan sama pentingnya dengan kecerdasan;  sama-sama sulit dicapai—