DALAM ATAUKU, KAU BERDANDAN


atau kau yang berpacar,
dalam kita, yang bening
dan yang keruh mudah ditawar

 

atau kau yang bercelak.
agar ada seujung hitam kau
tegak ketika menancap di benak

 

atau kau yang berpupur.
hingga kepada seluruh putih pipimu
tipu dayaku ingin bercampur

JURU TAFSIR



Dan petang yang menggelinggam akan mengapit lusinan puisimu, tuan. Aku si juru tafsir itu. Yang salah mengenakan ukuran sepatunya (sekali dua kau saksikan aku terhuyung di hadapan jalan kecil rumahmu yang lengang). Akan kelewat takabur aku bacakan sendiri gelugut rasa hausku sebelum mengertapkan pintu kayu jatimu. Siapa memiuh kesepian jika kudapati ternyata kita sama-sama cermin remuk yang rusak dikeruk kuku-kuku besi para pendatang

Tapi tak perlu kau belas kasihani ilmu pengetahuanku yang tipis (kau cuma akan menemukan patahan lidah bapak—ibuku diantara jeda-jeda yang dimiliki cengkeraman penggaris). Wanti-wantilah aku jika masih saja luput dalam mengutip--mengatupkan bait-baitmu: yang mengeruh dalam kesementaraan, yang menunggangi pinggang kali-kali kotor. Tapi aku yakin dasar kegelapanmu tak akan sanggup merangkak  memangsa pucuk oborku

Semarang, 2014

CERITA SEORANG KAWAN



lewat pandanganmu aku dekap hari-hari yang menampik busuk. ulat-ulat suci (lambang perumpamaan) kau biarkan merambat. mereka tak akan sanggup sampai atau menggapai. sebab kau yakin sepasang pipimu tak sudi berkhianat sebagaimana genggaman yang dimiliki oleh tekukan jari para sahabat.

di antara batu kerikil, selokan mampat, loteng-loteng serta segala sesuatu yang ingin memusuhi kerinduanmu, tanganku terentang ingin memeluk bertumpuk-tumpuk kekeliruan.

tak ada yang melanggar, tak ada yang dihukum-- dengan sembrono kau curi kalimat itu dari mulut penyair yang memutuskan tidur menunggu mimpi buruk kelak lupa menanggalkan potongan-potongan tubuh rusaknya.

UPAYA MEMBACA GEMBALA TIDUR LEWAT PINTU BELAKANG



UPAYA MEMBACA GEMBALA TIDUR LEWAT PINTU BELAKANG
oleh Arif Fitra Kurniawan*


Shohifur Ridho Illahi (dalam  catatan berjudul “Maaf Apakah Gembala Tidur masih tidur”) merasa terganggu dengan Surat Upaya yang ditulis Kekal di halaman awal buku puisinya, itu dibaca oleh Ridho sebagai upaya  pendiktean kepada pembaca untuk memasuki teks serta konsepsi berani--tidak berani atas  kemunculan puisi-puisi di dalamnya.  Berpijak pada  keyakinan atas variasi subyektivitas pembacaan, saya  merasa berbeda pendapat dengan anggapan Ridho. hemat saya, berani atau tidak beraninya teks tidak ada kaitannya dengan upaya-upaya penyair  dengan mengungah  lampiran bagaimana berproses. Sangkaan saya, jika seseorang terganggu dengan sebuah pembacaan lantaran kata pengantar/ prolog/epilog, semata-mata karena strategi pembaca saja yang kemudian mengehendaki untuk diganggu. Saya bisa jadi juga merasa jauh lebih terganggu dengan pembacaan tulisan Ridho, jauh lebih terganggu dari Ridho yang merasa terganggu dengan adanya Surat Upaya. Lantaran Ridho sudah menulis begitu banyak, urutan dari puisi satu ke puisi lain, mengelompokkan, membetotnya, memberikan anasir-anasir pemaknaan., mencarikan tarikan-tarikan interstektual dsb. Menjadikan pikiran saya terpojok dan tidak disisakan ruang untuk menulis lagi. Mungkin bisa saja nanti pada akhirnya  saya akan menulis tentang apakah ada hubungan dan semiotik yang bisa diambil antara puisi-puisi kekal dengan gambar-gambar Dwi S Wibowo  yang mengisi ilustrasi di dalamnya? Atau Menuliskan, Bagaimana strategi  penyair memasarkan buku puisinya dalam sebuah kegamangan retoris sebagai insan yang salik? Atau membuat rekaan fenomonologis tentang hubungan penyair yang memangkas rambut dari gondrong ke cepak.  Pengarang memang pantang membuat interpretasi, namun ia diperkenankan mengisahkan mengapa dan bagaimana ia menulis. Umberto Eco menulis dalam Catatan Terakhir--nya untuk novel   Ill nome della rose, karyanya sendiri. Berisi tentang apa saja yang  ia butuhkan untuk menyusun novelnya.  Sebelumnya  di jauh waktu hal  semacam ini juga dilakukan oleh Poe, dalam  Philosohpy of Composition, dimana Poe sengaja menaruh duduk perkara bagaimana dia menciptakan sajaknya  The Raven. Poe  menerangkan secara detil metodologi pembuatan, berisi rumus-rumus estetik yang paling mendasar serta mengunggah pengakuan bahwa ia adalah seorang  insinyur Sastra yang ahli dalam memanipulasi kejiwaan orang lain. Dalam tradisi  buku kumpulan puisi Indonesia mutakhir, hal semacam ini bisa kita lacak  di Antologi-antologi tunggal Afrizal Malna (sejauh ini tulisan tentang dakuan menulis tersebut saya baca melalui Kalung Dari Teman, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing, dan Museum Penghancur Dokumen). 

kini aku adalah engkau
yang jatuh dari akar
bintang padam

(Tangan Icarus, halaman 39)

Akhirnya, demi variasi pembacaan, lewat belakang saya membaca manuskrip Gembala Tidur milik penyair  Ahmad Kekal Hamdani ini, dan tentu saja  saya langsung berhadapan dengan Tangan Icarus (sebelum mungkin ada penggalan kata puitik  dan biodata penyair). Untuk kemudian merunutnya pelan-pelan ke depan. Judul demi Judul. Enigma; Kesaksian; Gembala Tidur;  Perbatasan Diri.  Hingga Akhirnya sampai pada Tanah Bangsalan. Teks-teks kekal memberi tawaran kondisi simalakama menghadapi sengkarut, antara yang arkaik  ketika digerus tanpa ampun oleh penghancuran demi penghancuran peradaban. Puisi-puisi Kekal memposisikan diri diantara khaos yang tak bisa dielakkan:  lanskap  distopia.  Dan dimana ada kondisi distopia, sekonyong-konyong  kita akan diperosokkan ke  dalam wacana melarat-larat  segitiga :  Distopia—Apokaliptik—Utopia. Saya jadi teringat Orwell, lewat  tokohnya Winston  Smith yang sudah tak bisa lagi membedakan mana masa sekarang, mana masa lampau, mana masa depan. Sistematis waktu selalu menjadi tragedi bagi ingatan tiap orang. Bahkan ambisi  Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past—itupun ambrol.  Ambisi neurotik Icaruspun tak bisa dibengkokkan menjadi “langit yang lain”.  Tidak Ada Kebebasan. Kebebasan mati. Sementara kematian menjadi rutinitas yang banal. Dalam pembacaan saya,  dari  proses  keruntuhan mengerikan semacam itulah puisi-puisi Kekal  bergerak.  Kuplet-kuplet keputus asaanya menarik kita ke jaman Barok, dimana Shakespeare menulis: Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi—lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang.  Pesimisme memang menarik untuk puisi, sekaligus menekan  kita  sebagai pembaca  agar   pasrah  melepaskan pamrih-pamrih kita terhadap  realitas teks; yang datar, buram, dan permukaannya membosankan.