POU-TE-HI



"Situ punya nama Ceng Se, aku beritakan, ini  jaman yang cepat,  
semenjak dahulu kala, kami  sudah punya  idup begini  keras"

Aku  pindahkan  tanganmu  dari  tombak dan pedang,
juga  peperangan  yang selama  ini mencengkeram
nasib  setiap  pertunjukkan


Di bawah  gerimis  yang  memohon  alamatmu 
agar  tak  lekas menyentuh  kakiku
kau  pasang  nama-nama  dalam  silsilah
seperti  sebuah  rumah  baru  saja  berbenah

MEMBACA : MUHAMMAD--A BIOGRAPHY OF THE PROPHET


 
“ Ya  Allah,  seandainya  aku  tahu  bagaimana Engkau  ingin  disembah, begitulah  aku  akan  menyembahMu, tetapi  aku  benar-benar  tidak  tahu.” Doa  (Zaid) orang  arab  itu  segera  dikabulkan.

Pada  halaman  103,  dalam  buku  karangan  Karen  Armstrong, MUHAMMAD:  A   Biography  of  The  prophet, saya  sejenak  berhenti  membaca. Menghela  napas  menetralkan  diri  saya  yang  tiba-tiba  disergap  kalimat  tersebut.  Ngeri. Ketika  membayangkan  seorang  seperti  Zaid, memasrahkan  utuh  dirinya  kepada sesuatu  yang  transenden.  Hidup  membikinkan  dia  jalan, Zaid  mesti  menjadi  seorang advontur.  Melewati  gurun-gurun  pasir, melupakan  dan  menjauh  dari  lilitan tangan-tangan   dewi-dewi  Arab;  Latta, Uzza, dan  Manat.  Dia  Sampai  di  Mosul—Irak, sampai  juga  di  Siria, ia  masuki  biara  dan  gereja, menemui  tiap-tiap  rahib, tiap-tiap  pendeta. Setengah  mati  dia  penasaran  dan  memburu  jawaban  tentang  kabar  agama  suci  yang  dibawa  Ibrahim.  Seorang  nabi  akan  segera  dikirim  Tuhan di  jazirah  Arab, bisik  lurus  mereka.  Dan  belum  sampai  di  Mekah, Zaid  mesti  terbunuh  di  selatan  Siria. Sungguh upaya  perjalanan  dan  pencarian yang  apokaliptik.

MENGANDUNG DIRIKU



Kemarahan  mengirimiku puisi  dan jam  satu  pagi  yang  lenganya  babak  belur. Aku  melihat  ayahku  mengandung  diriku. Perutnya membesar. Dikiranya  aku  angkasa  yang  salah  ia  hirup  lewat  hidungnya  yang  kerap  mimisan.

Ia  tidak  terbiasa  mendengarkan  musik  dari  radio, penyiar  yang  pura-pura  ramah  menjadi  salam atau  kerinduan  milik  orang  lain. Ah, ia  mulai   menghitung lagi  kabar  buruk sebagai anak-anak yang   tak pandai  menulis  surat.

Mengutip Marquez

-Di  umur  23, sudah  saya  baca  seluruh  buku  yang  saya  butuhkan  untuk  bisa  menulis  bagus -

PIKIRAN-PIKIRAN SESAT



Di antara  cahaya  petang  yang   merajang  tubuhku, ratusan  kura-kura  tak  pernah  mengira  kaulah  yang  telah  mengumpulkan  dan  mengerami  pengetahuan  mereka.  Kutegakkan  seluruh  tabunganku— pikiran-pikiran  sesat  yang  bingung   dikepung  awal  dan  akhir .  

Pantai   menjambak  lembek  wajahku  dan  aku  tersungkur  ditangkap  tanah  berpasir yang  bertahun-tahun  kau  lubangi pelan-pelan demi  menyimpan    orang-orang  yang   mati lantaran  tak kuat  disindir.

KETIKA BERKACA




aku  seutas  dasi  yang  engkau  kenakan di bawah  kepala   yang  tak  tahu  bagaimana  membersihkan  dirinya  dari  masalah.  binatang  buas  yang  dikirim  jam  kerja  dan  diminta  berpura-pura  santun, ulat-ulat  berlendir  licin  yang  kau  temukan  sering  tiba-tiba  saja tertawa getir   di  tengah-tengah  sebuah  film  kartun.

kau  menuduh  dirimu tak  mahir   bersembunyi  dari  kisah-kisah  murung   yang hidup  seperti para  penambang—enggan  berhenti  mengeruk  dan  menggali  sampai  kau  tandas  dan  mengering  kemudian  memantulkan  diri    mirip   benda-benda  pernah patah.

aku  melihatmu  menyisir  rambut. bekerja  keras mengingat    lagu-lagu   yang  pernah   merendam  menggenangi    tulang rawan  telingamu. lirik-liriknya  jadi  sedemikian  rusak  begitu  sampai ke  pucuk  lidahmu  seolah menyanyi  adalah  memanjat. 

SURAT DI BULAN JANUARI



Halo kamu, apa  kabar  di bulan  januari ini.

Kaki  ayah  sakit  dan  saya  mencemaskannya.  Itu  sebabnya  saya  ingin  membagi  kecemasan  ini. Berhari-hari  yang  lalu  sebelum  tahun  baru, kakinya  terkena  tumpahan  minyak  panas.  Saya  pikir  di  kamus  kami  yang  menghabiskan  hari  di  dapur, ketumpahan  minyak  dan tersayat  pisau  adalah  hal-hal  yang tidak  penting  untuk  saya  ceritakan  ke  kamu.  Tapi  entah  kenapa, kali  ini  saya  mencemaskan  kesehatan  ayah. Hampir  tiap kali  sepulang  kerja,  saya  selalu  menghadangnya  di  depan  pintu  dan  bertanya: sudah  kering?
Dia  tidak  menjawab,  cuma   mencincing  celana  panjangnya,  memperlihatkan  kaki  bawahnya. Kulit  yang  terkena  tumpahan  minyak  itu  terlihat  basah  bernanah. Saya kemudian  diam  dan  melewati tubuhnya, ingin  segera  tidur  dan  berpura-pura  tidak  terjadi  apa-apa. Pertanyaan  “sudah  kering?” dan  adegan  dia  mencincing  celana  itu  terus  berlangsung  selama  seminggu  lebih  ini.  Seolah repetisi  yang terus  menantang  saya. Tapi  saya  selalu  ingin  mengelak.  Saya  ingin  tidur  cepat-cepat  dan  berharap ketika  bangun  kenyataan juga  terpampang  sesuai  keinginan  saya.

BUNTUNG



nanti, aku cuma akan menjadi kakimu yang buntung
menyangga kau yang sudah tak lagi pandai
menginginkan sebuah tempat untuk dicapai

sia-sialah seluruh tangga dan pedal sepeda yang datang
untuk terus-terusan bertanya,
: apakah kita akan ke sana?

dan di luar tahun menebal dan pintu tak bisa diketuk dan kau
merasa seorang bisu mengiris napas dan suaranya

(Januari 2013)