MERAYAKAN DIRI


Saya  menulis  ini, ketika saya  merasa  perlu  merayakan  diri  saya . di  sebuah  bantaran  kali,  saya duduk  lama. Lebih  lama  dari  perjalanan   siapapun  yang  merasa  pernah  menunggu dan  ditunggu.  Duduk  begitu  saja. Memarkirkan  kendaraan.   Mengamati  orang-orang  yang  berlalu  lalang, yang  duduk-duduk  menghadap  air  cokelat  sungai , lampu-lampu  dan  riak  air  sesekali  bertukar  perangai. Duh, kepadamu  ngilu  sunyi saya  ini  kenapa  tak  juga  lekas  sampai.

Tanggal-tanggal  seperti  ikan  yang  tak  betah  pada kedalaman.  Yang  mesti  sebentar-sebentar  menyembul  naik, demi  merasakan  hal  asing.  Demi  bertarung  dengan  mata  pancing.   Tangan  saya  jadi  sangat  kerdil.  Bahkan  tak  mungkin  bisa  jadi  umpan  untuk  menarik remah-remah  masalalumu  ke  atas.

Sebuah  ransel   mengaku  hidup  untuk  memeluk  punggung  saya.  Saya  menoleh  ke  belakang  dan  tak  ada siapapun  yang  menyerupaimu,  atau  berpura-pura  menyerupaimu.   Cuma  ada  berulang-ulang  penjual   meyodorkan  dagangan; Jagung  bakar, es  dawet, rokok, dan  suara  yang  sengaja  disayat-sayat  agar  saya  terharu.

SURAT DI HARI ULANG TAHUN IBU SAYA



Surat ini  saya  buat  di malam  ulang  tahun  kamu.  Kamu  yang  lahir  15  Juni  1965, --  ibu  saya. Kamu  akan  membacanya  kan?


Saya  sedang  membayangkan  rautmu  sekali dan  sekali  lagi. Masihkah  hidung  pesekmu  yang  sering  saya  ciumi  itu  kembang  kempis  ketika  kamarmu  saya  semprot  baygon. Masihkah  wajah kamu  yang  kontruksinya  tidak  pernah layak  ditempati  kemarahan  itu  kamu  usap-usap  sehabis  kamu  selesaikan satu  kuali  besar  bubur  untuk  jualan, saya  masih  ingat  kok,  nyaris  tiap  malam  senin—jadwal  ayah  pulang  dari  pekerjaannya  yang  di  luar  kota,   kamu sediakan diri  kamu  untuk  mati-matian  berdandan. Melapisi  wajah dengan  bedak--memakai  gincu—menebalkan  alis,  memakai  handbody  lotion, memilih-milih  gaun  terbaik.  Tiap  malam  senin  ada  seorang  gadis  remaja 18  tahun  di rumah. Demi  yang  kamu  sebut  pacar—ayah  saya.  Seorang  gadis  remaja  yang  selalu  duduk  dan  sengaja  mematikan  lampu  ruang  tengah  untuk  menunggu  lelakinya  pulang. Betah  berjam-jam  memandangi  pintu.  Menunggu  diketuk  seorang. Dan  ah, saya  tahu. Kamu  berpura-pura  tidur, ketika   ia  datang, memasang  raut  muka  seperti  anak  kecil  yang kesal  mencari  lantaran  kehilangan  jepit  rambutnya 

Ya, begitu.  Saya  senang  sekali  diganggu  ingatan-ingatan  semacam  itu. Tiba-tiba  kamu  berlari-lari  kecil  dari  ujung  jalan  rumah  kita  mencari  saya  yang  bandel  dan  selalu  mempunyai  siasat  menghindari  jam  salat  dhuhur  dan  salat  ashar.  Kamu  akan  mendapati  saya  tengah  bermain  kelereng, kadang  di  sawah  menarik  layang-layang. Kadang  bermain kasti  di  halaman  sekolah dasar.  Saya  ingat  jeweran-jeweran  lembut  kamu  di telinga  saya. Kamu  ceriwis  sekali. Salat  itu  penting. Salat  itu  penting.  Saya  malah  berpikir,  keceriwisan  kamu  lebih  penting  dari  salat-salat  itu  sendiri.  Haha,  saya  selalu  tertawa  kalau  kamu  sudah  mengeluarkan  senjata;  anak  lelaki  yang  sudah  disunat  sudah  mulai  menanggung  dosanya  sendiri.

DI LUAR DIRIMU—DI DALAM DIRIKU


Di luar  dirimu, cuma  ada  lingkaran  kesalahan  dan  kekesalan  yang  berputar. Tak bisa  menghalau  diri. Sementara kegelapan  datar  menyerupai wajah  lantai. Sebelum  cahaya kota  dibangun dari mata  air  kemarahan  yang menyeruak  tumbuh  dari  retakan cangkang kuku-kuku kuning busukmu.  Telur-telur  yang  ternyata berperangai  demikian buruk. Kau  tetap  yakin  di  dunia  yang  nyaris  tak  nyata  ini  orang-orang  akan pulang  membawa diri  mereka  berjalan  membungkuk memikul kepala  berisi  padat—kaku  penyesalan milikku.  

Di dalam  diriku  sudah aku ciptakan  ribuan pasang  mata yang  menangis, bangsal-bangsal rumah  sakit  bersalin, jarum  suntik, kapsul  penenang  dan, rumit rumusan demi menebus  kehilangan. masa depan  orang-orang  terlanjur bibit  penyakit yang  menunggu waktu  tepat sembari  memeluk  pertanyaan  kapan dirimu akan berulang-ulang  bangkit. Mereka  terlanjur  getir  menyimpan  ucapan  selamat.  

Wabah  yang  berhasil membelah  diri  itu  seperti  air  susu  langit  memaku-maku  batu, tabah meneteki mayatmu  yang kekar  bercabang  di  liang  kering  angan-anganku.

TERJEMAHAN BEBAS SAYA PADA BEBERAPA SAJAK JAMES JOYCE*



Rain Has Fallen All the Day

Hujan  jatuh  sepanjang siang
O menderas  diantara  pepohonan
Daun-daunnya  rontok  dari kenangan

Yang  tersisa cuma sempitnya jalan
Dari  ingatan yang  akan kita tinggalkan
Kemari, cintaku, kemari
Agar  hatimu  bisa  aku bisiki.
     James Joyce

All Day I Hear the Noise of Waters

Sepanjang  hari  aku mendengar  kemerisik  air
membuat  lenguhan,
Sesedih  burung-burung  laut  ketika
pergi menyerahkan diri mereka  kepada kesepian
untuk mendengar angin mendesau ke  air
yang suaranya  melulu  mengalir

Angin yang kelabu,  angin dingin  yang mengikuti
Kemana  diriku pergi membawa kaki
Aku  mendengar  ribuan  kemerisik air
Jauh di dasar
Sepanjang  siang, sepanjang malam,
aku terus mendengarnya  berkecipakan.

James Joyce


Ecce Puer

Dari  gelap  masa lampau
Seorang  anak kecil lahir

ULANG TAHUN MAMAK



Selamat  ulang  tahun, mamak. sehat  dan  sehat  dan  sehat  dan  sehat dan  sehatlah  selalu. saya  selalu  kuatir  dengan  tubuh  kamu  yang  mesin  dan  perkakas  itu. terima kasih  sudah  tabah  menjadi  seper--berapa (?)  bagian  dari  kami. saya  jadi  ingat,  pernah  menulis  sebuah  puisi  tepat  di  hari  ulang tahun  kamu  ini.  puisi  yang  juga  kebetulan  pada akhirnya  termaktub  dalam  antologi  Temu  Sastrawan  Indonesia  IV;  Tuah 

TAJAM BELAHAN GERIMIS



bising yang bergerak ini telah meninggalkan potongan tangan di telingamu: sebuah sejarah  yang sedih kehilangan  perihal penting. yang semestinya hijau dan menghisap. agar aku tetap bisa lurus tak bergoyang ketika berdiri  ketika menghadap. agar suatu ketika jika engkau bosan aku bisa cepat-cepat engkau muntahkan. selalu waktu dan kau yang diam-diam aku yakini mampu merentangkan hal mustahil. menjembatani kokoh—kayu perasaanku perasaanmu yang  tak tahu sebab apa jadi sebegini menggigil.

aku  merah cair  menyala  menyaksikan tahun-tahun berpaling dari upaya mengumpamakan ingatannya kepadamu—yang dihantui suara menghentak tiap kali ada yang membukakan  pintu. berkali-kali kau sangka itu   nasehat ibu yang lama pergi begitu  jauh membawa alasan-alasan dari masa lalu.

selamat datang doa-doaku yang terus alir

aku  akan  selalu  seperti  anak  kecil  yang  senang sekali  kepada  dosa.
aku  yang  selalu  sudah  basah  lebih  dulu  sebelum  sampai  kepada  hujan bulan  juni--mu,  ibu