DARI ABAD YANG JAUH


nanti datang kepadamu seorang lelaki yang membawa abad-abad usianya.
yang bungkuk menyeret diri dan segenggam tangan berisi hujan,
sawah-sawah, cacing tanah, gemurutuk jembatan kayu diinjak,
bayangan pohon-pohon, paruh perih serta singup sayap burung-burung
dari sajaknya yang masih saja  merasa dikurung oleh  kebebasan.
sungguh ia akan mati-matian mengenalkan sekali dan sekali lagi padamu
benda dan mahkluk-mahkluk yang 10,13, 17 tahun lagi
niscaya benar-benar  begitu susah  engkau bayangkan.

di dekat telingamu cuma ada masa lalu-masa lalu yang terus menerus dibakar.
di depan matamu,  orang-orang menangis  memikirkan bagaimana
kehilangan ini mesti mereka bayar

siranda, maret 2013

SAJAK SAJAK EDGAR ALLAN POE* YANG COBA SAYA TERJEMAHKAN



A DREAM  WITHIN A DREAM

Taruhlah kecupanmu di kening
Pisahkan dari dirimu sekarang
Hingga sepenuhnya aku mengakui
Kau tak lagi keliru, menganggap
Hari-hari aku yang begitu mimpi
Keinginan yang jauh melayang


Di malam, di siang
Di harapan, di kehampaan.
Tersebab itukah kepergian?
Seluruh yang kita lihat dan nampak seolah-olah
sebuah mimpi di dalam mimpi

Aku berdiri diantara deru
pangkal—ombak—kesedihanmu
Dan menggenggam diriku sendiri,
Sebagaimana hamparan kekuningan
pasir yang berbiji-biji.
Sedemikian  papanya, mereka merayap
melewati jari-jariku
Sementara aku menangis—aku menangis.
O tuhan, tak dapatkah itu semua aku miliki
dengan sesuatu yang lebih erat dari genggaman?
O tuhan, tak dapatkah salah satu riuh beringas
dari gelombang itu aku simpan?
Apakah yang kita lihat dan nampak memang
sekedar mimpi di dalam mimpi?
[Edgar Allan Poe]




ALONE

Dari jam milik masa kanak dimana aku belum ada
Seperti yang lain: aku belum melihat
Seperti yang orang-orang saksikan; aku tak mampu membawa
kehendak hasratku dari musim semi yang datar ini
Dari  ujung hulu yang sama belum juga aku ambil
Kesedihanku; aku sungguh  tidak mampu membangun
hatiku agar bergembira pada  lirih  bunyi yang sama;
Sebab  dari seluruh yang aku cintai, aku begitu mencintai sendiri
Kemudian dalam  masa kanakku, di sebuah fajar
Lewat  hidup yang maha membadai— sudah tergambar
Setiap dasar kedalaman dari yang sehat dan yang sakit
Rahasia dimana terus menerus aku terjepit.
Dari seluruh aliran air yang mengucur ataupun yang memancur
Dari jurang-jurang diantara rongga pegunungan
Dari matahari yang rutin mengitari aku  untuk menggulirkan  
aroma cahaya  musim gugurnya yang kekuningan
Dari  kilatan-kilatan di langit
Yang seolah mengajak aku terbang
Dari lenguh guruh maupun  pangkal badai
Dari payung  mendung yang kepadaku nyaris sampai
(ketika surga jadi teramat biru)
Iblis  bermukim di sekujur  pandanganku.
[Edgar Allan Poe]




* Edgar Allan Poe:  Penyair, penulis prosa, penyunting dan kritikus sastra Amerika 
kelahiran Massachusset, Boston 19 Januari 1809. Poe meninggal  pada 7 Oktober 1849.


SETIBANYA DI JAKARTA

di kegelapan tidak ada kiri tidak ada kanan;
aku mengira tengah dibawa sebuah kota
yang pernah aku perjuangkan kepadamu.

tapi barangkali jakarta tidak bisa
menjadi telapak tangan bagi  seseorang
yang akan  leluasa engkau  kirimi ciuman. 

aku tertekuk dan terus menahan diri dari
serangan pahit   segelas teh serta
pecahnya kenyataan.

dalam sebuah travel, pebruari 2013

BEBERAPA SAJAK EZRA POUND* YANG COBA SAYA TERJEMAHKAN

ALBA

Selembab daun basah dan memucat
Lili--dari--lembah tersembunyi
Dia berbaring di samping aku
pada suatu dini hari


 APRIL

Tiga ruh sudah datang kepadaku
Menggambarkan aku perpisahan
Dimana cabang zaitun patah,
merebahkan alamat dirinya ke tanah:
pucat pembunuhan di naungan kabut terang



KODA

O, lagu-lagu aku
Mengapa engkau begitu berhasrat dan penasaran
masuk ke dalam raut wajah orang-orang,
Apa akan engkau temukan sebuah maut--kehilangan
diantara mereka?


*Ezra Pound adalah penyair yang lahir di Hailey--Idaho, Amerika Serikat pada  30 Oktober 1885 dan meninggal dunia pada 1 November 1972

Pertemuan

: semalam sengaja meluangkan waktu untuk menemui sulung pamanggih. cuaca semarang lumayan asyik tidak seperti kemarin-kemarin yang tiap sore sudah diguyur hujan. saya datang. beberapa menit sulung juga datang. melihat sulung mengendarai motor tuanya seperti masuk lagi ke novel "mencintai che". kontemporer sekali sulung di timpa lampu listrik dari atas. kontemporer dan ganas. padahal labil di kenyataan. haha.
"bagaimana?"
"apanya yang bagaimana?"
ketawa kami.

"mau ngopi dimana?"
"terserah situ, yang penting nggak terlalu bising."
"ke tempat wiwid saja gimana"

dan wiwid memang disediakan telapak  malam untuk mendampingi bincang-bincang kami. ruangan sempit sebab 2/3 nya termakan rak buku. satu kipas angin yang berderit. serakan barang-barang tidak jelas, koran-koran minggu. kopi di buat cekatan. rokok dikeluarkan. dan pada akhirnya bla bla bla. kami seperti mengkonvensi ini semua ke sebuah judul "diskusi sampai mati"

ngobrolin dari cerpen Puthut EA, perspektif Ignas Kleden, melompat bagaimana membuat esai untuk puisi yang baik-- wiwid sempat berjujur, esainya kemarin membahas puisi-puisi Ghani dan Amir adalah debutnya. dan dia gemetaran waktu bikin. Ngeluh. bikin esai buat puisi itu tidak semudah membuat esai  menanggapi wacana. Lalu terlintas nama-nama esais yang jernih macam Tia Setiadi, kecerdasan Dea anugrah, keruwetan ungkap nya Bandung Mawardi, dan mahzab baru "esai gelap" vivi Andriani. terseret juga untuk memperpanjang omong kosong tentang lekra dan manikebu yang dibawa Pram, Gunawan Mohamad yang bertabiat lentur-lentur menyulut, Taufiq Ismail yang keukeuh, dan sulung yang tiba-tiba linglung nol besar tentang puisi esai yang sedang kontra opini itu.  dan bla bla banyak lagi menyebut nama-nama macam derrida, foucault, saussure cuma untuk dianggap dialektik dan berargumen valid memang bukan kategori dosa besar malam itu. jam lima kopi sudah tandas. rokok tinggal beberapa gelintir. saya pamit pulang dengan beberapa kali menguap. Adzan subuh melalui kami dengan suara merintih-rintih...


PENDAKIAN




siapa yang tahu cara engkau mencari setapak,
sebelum ini: nyaris berhulu-hulu kiasan
hendak kau panggul ke puncak

sekadar sayat ataupun tusuk,
bagi kulit-daging pengertian aku
yang kelak padamu membusuk.

tak banyak berbeda antara tajam
dengan lengang; antara yang mesti
atau sekedar mudah-mudahan

yang aku tebing-tebingkan diantara pulau,
yang engkau air-airkan di seberang danau
tetap saja semata utuh datar tak bisa dijangkau

(kampung brotojoyo, januari-pebruari 2013)