PUISI ARIF FITRA KURNIAWAN ( Suara Merdeka, Minggu 13 November 2011)

MENUKAR KAU, MENAKAR AKU

batu itu, kaukah?
air ini, akukah?

: kita, sesekali tak bisa
bertukarkah?

agar engkau tahu
sekeras apa dirimu,
ketika leleh  secair aku
-- dan sebaliknya --


SEPASANG MATA IKAN

baginya engkau empang  tempat ia memuja
pancuran, mandi sekaligus meluruskan
bagaimana rasa takut  layak dihilangkan
dengan tergesa.
selalu saja ada kisah yang merasa putus asa
sebelum  sampai di meja.
seperti nasib yang ingin kita sudahi segera

waktu yang kurus terus menguras  jakunmu,
jakun yang enggan memusuhi berita bahwa
selokan kampung penuh gang
dan bawah jembatan terlampau
kelaparan untuk merawat ikan-ikan.

apa yang lebih mati dari menu-menu
yang orang-orang harap diganti saban hari?



GASINGAN

bila derunya sampai ke dadamu,
maka keluarlah dengan membawa perumpamaan.
aku menunggumu sebagai gasingan di halaman.

diluar tubuhmu aku memang budak
yang membedaki diri dengan pertanyaan
berapa ribu mahar harus kutabung
agar lekas engkau merdekakan



KUNANG-KUNANG PASAR MALAM

/Rumah Paling Hantu/
sungguh tak ada yang gelap, meskipun kematian
datang kepada  seluruh lampu yang pernah hidup
dan menyalakan aku.

kau  telah menghantukan seluruh masalalu,
hingga  baik yang bermukim maupun  yang bermakam
selalu kita kenang sebagai  masa depan.




/Merah Kembang Gula/

yang bertahan untuk bersembunyi,
dan tak ingin percik di atas dadamu
meski telah sering  kau nyalakan nyali
yang menggumpal sebagaimana ketakutan
merah muda kembang gula
kemudian aku belajar mengemas
riwayat  hatiku yang pernah jatuh pada cinta
dengan bening tangan paling putus asa.

sesibuk apakah waktu,
ketika ia dan dirimu berputar
menunggang mainan
semakin menjauh dari tangkai mataku yang sepah
yang terlanjur terpelanting dan cuma mampu 
melambai-lambai kepakmu-kepaknya dari bawah

sebab percuma, bagaimanapun cemburuku
tak akan berhasil membakar susunan rusukmu
barangkali kau cukup mendoakan  saja 
agar tubuhku setabah rumah,
tak  menghardik 

pada  setiap  ketukan yang datang,
pada setiap punggung yang pamit pulang
mematah-matahkan diri,
mematuh-matuhkan hati
sampai nanti  gerigi, mesin,
serta semua yang bergetar dan keluar
dari tangkup bibirmu  itu berhenti



/Yang Gemuruh Dalam Komidi/
diantara perbincangan orang-orang,
yang meloketkan kegembiraan
ke dalam jenuh telingaku  yang kuning logam

kau tak berhenti  memutar  ratusan,
riuh alamat  dari jalan-jalan yang menggigil
sebab  piatu ditinggalkan ibu kota mereka
agar  kembali  menghamba,
mainan dan akhir pekan sebagai hari raya


Semarang- februari 2011


MALAM TERANG BULAN
sebelum wajah kita lebih cilukba
dari yang datang dan yang pulang
yang terbit dan yang tenggelam,

kau mesti keluar  dulu dari lidah
menawarkan  tangan pengumpul sejarah
meski yang bernama telapak kita ketahui
rusak dirasuki hantu serta rajah

selalu saja anak-anak tak beribu itu
akan menuduh kita  tembang dolanan
yang mengabdi pada berhala di halaman,
kita akan terus diburu,
sebagai janji-janji, ketika  malam
mereka dikhianati oleh gambar-gambar
sumbing di televisi

hidup cuma kita pandang.
hidup kita cuma pandangan.

bening selayang diputus
sebenang gelasan.

ah!


BIODATA:
Penyair  aktif  bergiat di komunitas sastra Lacikata- Semarang.  Menjadi pemenang ke 2 di LCP Hanna Fransisca 2011, masuk nominasi  LCP BENTARA BUDAYA BALI 2011.   lolos seleksi Temu Sastrawan Indonesia IV -- Ternate. Puisi-puisi tergabung di buku antologi  10 KELOK DI MOUSELAND, juga TUAH TARA NO ATE (Bunga Rampai TSI 4 Ternate)