PEREMPUAN YANG MENYURATI TUHAN


PEREMPUAN YANG MENYURATI TUHAN

akhirnya ia menyurati Tuhan,
yang telah menjatuhkan pada matanya,
bakal buah yang tumbuh dan berkisah
pada rahasia yang menjaga celah.


1
Tuhan, hadirkan aku hijau lagi,
pengertian yang sembunyi di malu daun suji.
menyingkapku sebagai tepi.
ditempat pertama dia datang,
sebagai lengan kekar membawa riwayat sampan,
mengajakku berlayar, menyelam laut belukar.

lalu pelan tubuhku menguning,
luka bakar itu ia kecupkan penuh sabar dikening.
tunggu aku, katanya.
sebelum ia mengubah diri jadi kaki lentik;
tualang lebah madu.


2
dan pertemuan, sebagaimana padat aliran hujan,
buih yang riuh mengucurkan curah
saat langit terseduh, panas tanah terbakar peluh.
kerinduan. ingin sekali saling bersentuh.
meski rintang ranting teramat licin,

ketika sengauku lebam daun. ingin berpegang embun,
titik pertemuan yang jernih,
yang kuharap mampu mengupas perih demi perih.
bersabarlah, rutuknya.
aku menggigil menjahit luka-luka
yang mengalir dan mengalur,
dari kening ke mata.


3
Tuhan, putuskan ceritaku,
yang diuntai rafia, mengikatkan diri pada telinga,
tak bisa lagi mencangkangi suara.
jatuh, jatuh jatuhkan saja aku ,
dari tubuh hijau-kuningku,
tak bisa lagi menengadah
menjadi riuh kecambah.


akhirnya surat itu sampai pada Tuhan,
yang maha membaca tahun-tahun
serat buah-buahan.
kulit paling jauh dari ingatan




gambar dari sini

CERITA DARI TETUA KAMPUNG KAMI (proyek sanggar suluh )


CERITA DARI TETUA KAMPUNG KAMI

inilah cerita buah paling sulung
yang dihadiahkan hutan dan gunung.

buah yang mesti kalian jaga,
simpan di kanan dada.

sebelum kalian, kaki-kaki penjinak mendung,
riap, dan meninggi.

memasangkan simpul pelana
dan buhul sanggurdi.

mengejar bayangan sesat
pencuri kiblat.


buah yang tiap hari menghijaukan pandangan,
membubuhkan selisih, antara jernih dengan buih,
dan menyapih tiap ketakutan dari puting susuan,
agar lengan kalian tegas menggenggam rotan,
menyibak rukam demi rukam sepanjang rintisan.

inilah cerita buah paling sulung
yang dihadiahkan hutan dan gunung.

yang tak genap dikandung
duapuluh larik rahim talibun.

kalianlah bekam,
niat sembuh segala sakit dibadan.

yang akan merawikan tiap tikungan diam-diam,
mengingatkan akar agar erat
mencengkeram bubungan,



buah yang tiap waktu membeliakan pendengaran.
menjaga bunyi dari gaduh dan jahat selembubu.
menyesap seluruh keringat bulir padi, tiap bebatang umbi.
di pinggang, di selungkang sebagai candu.
sehabis kaki dan lumpur bergulung.
mengaduk, menyemai, dan menundukkan
musim yang makin sulit diukur.


gambar diambil dari sini

KISAH BIJI EMBACANG


KISAH BIJI EMBACANG

yang dibakar nila,

repik simpuh temaram tua

ingkar ini, taklukan ladang,
semak lebat kemungkinan

kemilap jernih, ekor itik putih
memilih seberang,
meninggalkan didih cangkang :

(aku dan adik perempuanku)

buah dan buih
tergantung sepanjang jemuran,
kering oleh teriknya erang

ia tanggal muda yang jatuh dari dahan,
tak mampu menampung madu,
yang hujan dari mata bulan.


aku tanggul tipis menahan gerak jam
dihantam sepukul demi sepukul.
untai, lepas dari simpul.


kami ingatan, pernah disayang hutan,
sebagai kecil bebiji embacang,
tumbuh subur, di tanah gembur,
dirawat dengan dada yang sabar.

kini dibesarkan,
oleh kehilangan demi kehilangan.

--AF kurniawan--


gambar embacang saya ambil dari sini

puisi puisi AF kurniawan : Antalogi Sastra Pawon


KITA SULIT PERCAYA PADA TIGA UNGKAPAN LAMA

1//
padamu, nasi kemarin yang terlanjur menjadi bubur,
barangkali kau bisa bercerita padaku,
tentang keriput daun telinga gajah di samping rumah.
betapa rajin ia meminta ijin,
mengintip dari celah pohon ramunia.
masa kecil kita saling berlomba.
menggambar bentuk kubah diatas tanah.
berkejar-kejaran.
mengkotak kotakkan harta warisan.

2//
padamu, air dan minyak yang saling berpunggungan.
yang tak bosan dipermalukan kiasan.
adalah jarak,sengaja hadir menguji kesabaran.
menghasut kalian untuk terus menajamkan pedang.
padahal, pernah suatu malam di pelabuhan.
kalian sama-sama memanggul.
berat jam yang berisi pukul demi pukul.
membuat penahan air pasang sepanjang tanggul.
syahbandar tak tahu menahu.
ia sibuk menghitung berapa jumlah lokan yang hilang.

3//
padamu, lengan pendek yang ingin mengumpulkan gunung.
sudah berapa kali jari kemustahilan,
menyembunyikan tanda sama dengan diantara hitungan.
agar kau habis tenaga.
menyerah.
lantas mengembalikan segala kesimpulan.
kepada semua buku-buku pengetahuan,
yang kau pinjam dari rak perpustakaan.

tak kumengerti kenapa kau lebih memilih percaya,
pada suluh yang enggan berbicara.
terus saja mencabuti ganggang
rungkut yang berkelindan di jelujur jiwa.

***

PARIBAHASA SEBENARNYA TELAH MENGURUNG KITA

sengiang perumpamaan,
yang merasuk dan memberi keturunan,
pada getah tetumbuhan di ladang.
kita terus saja mencari letak sumur tua,
tempat pertama kali langit menjatuhkan biru,
kedalam mata, hingga selalu keliru mengeja usia.

sedalam lubuk ditinggalkan ikan-ikan,
kini jeritan,
mencoba memindahkan segala bayangan.
ke sungai, tempat beberapa pertanyaan,
pernah dulu ditanggalkan para danyang.
mereka terlanjur menuduh kita pencuri.
mengambil sembilan puluh sembilan warna
milik hujan dan matahari.

***


KEPADA ADIKKU
:dewi citra sari

lihatlah tubuh ibu dik,
tempat debu dan jutaan pisau membuatkan lubang besar bagi suara kita
hingga kita leluasa teriak,
memainkan robot-robotan dan boneka.
betapa adil ia menjatahkan-jatuhkan air susu,
tak pernah membiarkan mulutmu mulutku
mengering-erangkan puting kiri atau kanan.
bayang atau kenyataan.

lihatlah jemari ibu, dik
mesin jahit yang sabar menyatukan cahaya,
serekat warna bendera,
yang kita tatap sepanjang upacara.
sambil berdiri.
tegak lurus memasang tangga ke matahari.

betapa ia telah patahkan hal-hal penting,
yang lapuk dan rusak sekeras angin
memetik daun kering.
menjauhkan pipi merah jambu kita
dari bisa.
dari muslihat rencana.
dari asin airmata.


REMANG KEMATIAN

sebelum mengucap selamat jalan,
aku ingin mengecup ratusan mayat
yang selama ini hidup di dirimu.
lalu dari jauh , kau bisa melihat luap tangisan
yang mengucur dari lubang-lubang di pungggungku.

punggungku yang berkeras membangun panggung.
mementaskan gaung dan mendung.
kesedihan-kesedihan yang mengaku sekandung.


SURAT IBU UNTUK AYAH YANG BARU BISA KUBACA SETELAH AKU DEWASA

untuk engkau, halaman tebal buku mataku.
yang menerimaku sebagai kalimat pucat.
dengan lengkap raga
yang tak pernah ditumbuhi ragu .
kau karat ranjang,
menunggu kaki mimpi berpulang.
terus membuka pintu,
barangkali suatu malam sepasang lampu
diingatanku, akan menemuimu, dengan tungkai telanjang.
menanam di kamarmu,
terang demi terang.

kedatangan ini kupanggul dari alamat jauh.
bergaun kabar dan debar.
berdandan samar dan memar.
wangi lumpur
yang menempel di nisan nisan kubur.

pelan-pelan, kumasuki tiap suara,
yang berdiam di telingamu.
disana kulihat, bibir anak-anak kita,
sedang belajar berbicara.
sedang berusaha mempercayakan diri pada dusta.
kaukah yang mengasuh segala bunyi ini ?

bunyi-bunyi yang akhirnya piatu,
berjauh dari puting susu.
luka- luka lidah kulihat merekah.
saling membentur, saling berkelindan.
seperti lengan-lengan kecil berebut mainan


nb : selamat ya, buat diri sendiri !



klik disini untuk mengetahui karya siapa yang masuk dalam antologi

puisi puisi saya akhirnya muat di ANTOLOGI SASTRA PAWON

Para kontributor edisi pawon kali ini :

Aku dan Angka 18:18
Cerpen Saiful Bahri

Camelia dan Seberkas Dusta
Cerpen Ir. Bambang Sukmadji

Cerita Tentang Coklat
Cerpen Santoso Rukatam

Hidup Ini Indah, Bapakku Sayang!!!
Cerpen Made Kartika Sari

Perempuan Sunyi
Cerpen Gendut Pujiyanto

Puisi-puisi Effendi Danata

Puisi-Puisi I Putu Gede Pradipta

Puisi-puisi Prayuda

Puisi-puisi AF. Kurniawan

Puisi Puisi Anna Subekti

Sandiwara Humor dan Propaganda Jepang
Esai Fandy Hutari

Sastra dan Kebutuhan Terhadap Orang Gila
Esai Bosman Batubara

Konstelasi Kesenian Tegal, Apresiasi, dan Kaderisasi
Esai Febrie Hastiyanto

Perempuan dan Seksualitas: Tafsiran The Diary of A Young Girl
Esai Sartika Dian Nuraini

Hajat Sastra Khotbah
Esai Bandung Mawardi

Perselingkuhan Lumbini Belum Selesai
Kisah Buku Tria Nin

Sebuah Oase di Taman Victoria
Layar Kata Haris Firdaus

Seorang peranakan yang suka berbicara dan berimajinasi sendirian
Wawancara dengan Mardi Luhung
oleh Han Gagas

Pada Gerimis di Sepanjang Sanggingan
Kisah-kisah dari Ubud Writer and Reader Festival 2010
Reportase Yudhi Herwibowo

Baca Dulu, Baru Nulis!
Kartun Anton WP.

Kematian Harmoni
Kolom akhir Indah Darmastuti






keterangan lebih lanjut bisa di klik disini